Gelar Diskusi Panel, UKIR ITB Ajak Masyarakat Luar Kenali Lebih Jauh Kondisi Pendidikan Tanah Papua

Oleh Anin Ayu Mahmudah

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id – Menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berasal dari salah satu wilayah paling timur Indonesia yaitu tanah Papua, Unit Kebudayaan Irian (UKIR) ITB menggelar diskusi panel bertajuk “Meneropong Pendidikan di Tanah Papua” pada Sabtu (25/02/17) bertempat di Perpustakaan Pusat Lantai 1 ITB. Acara ini digelar sebagai sarana untuk menunjukkan kepada masyarakat luar mengenai realita pendidikan yang ada di wilayah Papua dan Papua Barat.

Dibuka dengan sebuah video yang bercerita tentang kehidupan masyarakat papua yang masih terbelakang dan tidak mengenyam pendidikan dengan layak, acara ini kemudian disambung dengan pembukaan dan doa bersama, dan dilanjutkan dengan menyanyikan Lagu Tanah Papua oleh semua hadirin baik panitia, peserta, maupun tamu undangan dan para pembicara. Usai menyanyikan bersama Lagu Tanah Papua, acara disambung dengan sambutan dari Nurul Nasution selaku ketua acara, sambutan dari Herlan Simanjuntak selaku ketua UKIR ITB dan sambutan dari Dr. Robert Manurung selaku pembina UKIR ITB.

Dalam sambutan beliau, Dr. Robert Manurung menyampaikan, “Apabila kita yang hadir disini benar-benar ingin membuat perubahan yang lebih baik bagi tanah Papua, maka kita semua harus ikut berperan di dalamnya terutama para putra Papua.” Menurut beliau, yang paling baik menyelesaikan permasalahan daerah adalah putra daerah itu sendiri.

Menilik Lebih Dalam Pendidikan Masyarakat Papua

Acara kemudian berlanjut pada inti acara yaitu diskusi panel yang dimoderatori oleh Karolus, mahasiswa S2 Rekayasa Pertambangan ITB. Diskusi panel dimulai oleh beliau James Modouw, M.MT. selaku Staf Ahli Menteri (SAM) Pendidikan dan Kebudayaan RI bidang Hubungan Pusat dan Daerah. Dalam pemaparannya, beliau membagikan sebuah fakta miris yang terjadi di dalam masyarakat Papua yaitu tidak meratanya fasilitas pendidikan yang tersedia. “Jika kita lihat data jumlah guru yang ada di tanah Papua, sebetulnya Papua bukan kekurangan guru, tapi persebaran guru itulah yang tidak merata, ada daerah yang memiliki sejumlah guru dan di sisi lain ada wilayah yang tidak punya guru sama sekali,” ungkap beliau.

Menurut data yang beliau tampilkan, tampak bahwa masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan tingkat SD hanya mencapai 56,5%, tingkat SMP sebanyak 41,6% dan tingkat SMA hanya sebanyak 37,7%, sedangkan sisanya tidak dapat mengenyam pendidikan sama sekali. “Oleh karena itu, sebetulnya yang kita butuhkan itu bukan jumlah yang banyak, tapipengorganisasian yang baik supaya fasilitas yang disediakan dapat merata bagi semua wilayah dan masyarakat,” pesan beliau. Jika hasil dari pendidikan diibaratkan sebagai tumbuhan yang tumbuh di atas vas, maka vas itu adalah wadah dukungan yang berasal dari keluarga dan masyarakat sekitar dan tanah yang subur adalah kepribadian dan karakter baik yang ditanamkan kepada para anak sekolah.

Disambung dengan pembicara kedua yaitu Reri Saputra, S.Pd., Gr. yang merupakan seorang praktisi dan relawan pendidikan dari SM3T yang pernah mengajar di daerah Pyramid, Jaya Wijaya. Reri menerangkan banyak hal tentang kondisi anak-anak didiknya. Ketika Reri pertama kali tiba di sekolah tempat ia seharusnya mengajar, Reri mendapati bahwa anak-anak yang seharusnya sekolah telah libur selama 3 bulan karena satu-satunya guru mereka sedang cuti hamil dan tidak ada guru pengganti. Mulai dari situ, Reri kembali mengumpulkan anak-anak untuk kembali bersekolah, mengelompokkan mereka berdasarkan tingkat kemampuan baca hitung yang mereka miliki, dan mengajarkan berbagai hal seperti budaya untuk membersihkan diri sebelum kelas dimulai.

Bermula dengan anak-anak didik yang tidak berseragam, Reri mendapat bantuan seragam sekolah dari teman-temannya di kota dan membagikannya kepada anak-anak didiknya. “Dari yang awalnya saya hanya memiliki 20 murid, ketika naik kelas murid saya sudah mencapai 149 anak yang berasal dari sekolah-sekolah sebelah. Mereka pindah ke sekolah saya karena tidak ada guru yang mengajar di sekolah mereka. Dan akhirnya saya juga mendapat bantuan mengajar dari beberapa orang dewasa di daerah tersebut yang ternyata sudah pernah sekolah dan bisa baca tulis hitung. Dari sini saya sadar dan punya harapan, bahwa melalui pengelolaan yang baik dan kemauan untuk bergerak melakukan perubahan, pelan-pelan kita bisa mengentaskan masyarakat Papua dan masyarakat di daerah tertinggal lainnya untuk keluar dari keterbelakangan,” ujar Reri.

Sesi terakhir dari diskusi panel diisi oleh Kerry Yarangga, Manager Corporate Communication PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di tanah Papua. Dalam paparan yang beliau sampaikan, beliau membahas upaya pelayanan masyarakat yang telah banyak PT. Freeport lakukan bagi masyarakat Papua. Karena diskusi panel berfokus pada upaya pendidikan, maka forum diarahkan untuk tidak membahas bahasan lain seperti politik. Oleh karena itu, Kerry menyampaikan beberapa program yang PT. Freeport lakukan dalam menyediakan pelatihan kerja, beasiswa pendidikan hingga pembangunan fasilitas-fasilitas umum bagi masyarakat Papua.

Usai pemaparan dalam diskusi panel, para peserta dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan dan berdiskusi dengan para pembicara. Setelah berakhirnya diskusi panel, disuguhkan acara ramah tamah dan hiburan berupa tarian khas Papua kepada para peserta yang hadir. Seperti yang ketua UKIR ITB sampaikan dalam sambutannya, acara ini berhasil menguak lebih jauh mengenai kehidupan dan kondisi pendidikan yang ada di tanah Papua kepada masyarakat luar.


scan for download