Orasi Ilmiah Prof. Suprijanto: Pendekatan Multifisis sebagai Bentuk Perkembangan Instrumentasi Medis

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita


BANDUNG, itb.ac.id – Prof. Dr. Suprijanto, S.T., M.T., dari Kelompok Keahlian Instrumentasi dan Kontrol Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (FTI ITB), menyampaikan orasi ilmiahnya pada Sabtu (19/8/2023) di Aula Barat Kampus ITB Ganesha.

Pada kesempatan ini beliau mengangkat tema “Pendekatan Multifisis dalam Peningkatan Fungsionalitas Instrumentasi Pencitraan Medis.”

Prof. Suprijanto mengawali orasinya dengan bahasan sejarah pendidikan Teknik Fisika yang diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Nawjin dan Prof. Ir. Adhiwijogo pada tahun 1950-an. Disebutkan bahwa pendidikan Teknik Fisika menjadi bidang kelimuan rumpun teknik (engineering) yang mendalami rekayasa dengan pendekatan multifisis. Keilmuan ini membekali lulusannya dengan pengetahuan yang dapat mengisi kebutuhan terkait “forefront of engineering” yang menyesuaikan zaman.

Salah satu spesialisasi yang dapat dipelajari lebih detail pada Teknik Fisika adalah bidang instrumentasi dan kontol. Saat ini, bidang ini mengalami perkembangan dan dapat diaplikasikan di sektor industri, lingkungan, pertanian, transportasi, pertahanan, dan medis.

Topik bahasan yang akan dibawakan oleh Prof. Suprijanto pada kesempatan orasi ilmiah ini adalah pendekatan multifisis dalam instrumentasi medis. Prof. Suprijanto menyampaikan instrumentasi medis pada dasarnya adalah pengukuran besaran fisis yang dihasilkan oleh aktivitas organ tubuh. Contoh sumber besaran fisis yang diproduksi oleh tubuh adalah bioelektrik, bioakustik, biomekanik, dan biooptik.

Secara singkat, sumber besaran fisis ini merupakan sensor yang mengonversi ke besaran listrik untuk diproses sinyalnya agar dapat menghasilkan luaran berupa print out, display output, atau data storage.

Salah satu contoh instrumentasi medis yang masih digunakan saat ini adalah stetoskop dan elektrokardiograf (EKG). Instrumentasi medis terus berkembang hingga lahirlah pencitraan medis untuk “memotret” organ dalam tubuh tanpa pembedahan terbuka. Proses ini membutuhkan gelombang akustik atau gelombang elektromagnetik yang dapat berinteraksi dengan bagian organ tubuh sehingga dapat terdeteksi oleh detektor.

Saat ini, kuantifikasi aktivitas fisiologi pada otak dapat dilakukan melalui pencitraan otak (brain imaging) sebagai bentuk perkembangan pencitraan medis. Terdapat dua basis fenomena fisis untuk pencitraan otak, yakni electromagnetic physiological signals (EPS) dan hemodynamic response signals (HRS). Namun, penggunaan basis EPS yang menggunakan electroenchepalography (EEG) lebih populer di Indonesia, salah satunya dipicu oleh biaya operasionalnya yang lebih murah.

Pada 2013 silam, Prof. Suprijanto mendalami brain computer interface berbasis EEG. Fenomena event-related synchronization (EDS) dan event-related desynchronization (ERD) pada aktivitas motorik menghasilkan gelombang u. Prinsip inilah yang membawa Prof. Suprijanto dan tim menciptakan wheelchair robot yang menerima perintah dari gerakan tangan.

Tak sampai situ, Prof. Suprijanto juga berkecimpung dalam penelitian multidisiplin neurofeedback berbasis EEG. Dua penelitian yang turut digeluti olehnya memiliki topik neuromarketing yang membahas perubahan gelombang otak (brain wave) saat seseorang memiliki atensi terhadap suatu produk yang paling disukai dan topik pengaruh bluelight terhadap perubahan gelombang otak (dalam hal konsentrasi) saat seseorang berkendara pada malam hari.

Namun, penelitian-penelitian yang telah dilakukan Prof. Suprijanto belum memuaskan hatinya. “Tidak puas dengan hal ini karena hanya unggul secara temporal, tetapi secara spasial masih rendah.” ungkapnya.

Semangat ini memicu beliau memelajari low-resolution brain electromagnetic tomography (LORETA). Perjalanan ini membawanya berkelana di dunia computational imaging. LORETA memerlukan informasi geometri bagian otak secara 3D dan distribusi konduktivitas pada bagian otak.

LORETA bekerja dengan menggabungkan informasi citra otak melalui magnetic resonance imaging (MRI) dan hasil perekaman dengan multikanal EEG. Menurutnya, perjalanan berkutat dengan computational imaging ini cukup melelahkan karena perlu memahami proses penggabungan kedua informasi ini.

LORETA memiliki potensi yang amat baik untuk dikembangkan, baik di ranah medis, maupun di ranah nonmedis. Prof. Suprijanto memiliki cita-cita untuk mengaplikasikan brain imaging untuk memantau hasil kemajuan proses rehabilitasi medis dengan menggunakan 4D LORETA. Pneumatic soft robotic glove dapat membantu pasien untuk melatih gerakan perulangan pada tangan dengan metode mirror therapy. Robot ini memungkinkan dokter atau pengawas untuk melihat kemajuan dari proses rehabilitasi.

“Selain itu, LORETA dapat membantu evaluasi persepsi kenyamanan multimodal (akustik, pencahayaan, temperatur) dengan menggunakan lingkungan virtual. Stimulus akustik dapat diamati dari perubahan repons otak di daerah brodmann yang berkaitan dengan auditory cortex,” jelasnya.

Sebagai penutup, Prof. Suprijanto menyimpulkan instrumentasi medis kini berkembang ke arah sains dan teknologi pengukuran dengan pendekatan multifisis dan multiskala. “Perkembangan ini membawa kita untuk dapat melihat aspek yang lebih luas terkait interaksi bio-human system, physical system, dan cyber system,” ucapnya.

Tak hanya itu, Prof. Suprijanto berharap keilmuan Teknik Fisika dapat menjadi bagian accelerator node pada Program Multidisiplin Teknologi Kesehatan ITB yang mulai diselenggarakan pada 2023.

Reporter: Hanan Fadhilah Ramadhani (Teknik Sipil Angkatan 2019)


scan for download