Orasi Ilmiah Guru Besar Prof. Dr. Rubiyanto Kapid: Mengenal Keragaman Fosil Mikro dan Perannya di Alam
BANDUNG, itb.ac.id—Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan Orasi Ilmiah Guru Besar yang dibawakan oleh Prof. Dr. Rubiyanto Kapid dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Sabtu (6/8/2022). Prof. Rubi berkesempatan memaparkan penelitiannya tentang “Menelusuri Jejak Kehidupan Fosil Mikro, Nannoplankton”. Acara diselenggarakan secara luring di Gedung Aula Barat ITB dan secara virtual melalui YouTube Institut Teknologi Bandung.
Mengenal Fosil Mikro
Paleontologi dibagi menjadi dua yaitu Makropaleontologi dan Mikropaleontologi. Makropaleontologi mempelajari fosil-fosil berukuran besar (cm sampai m). Sedangkan, mikropaleontologi mempelajari fosil-fosil berukuran kecil (mm sampai mikro meter) sehingga diperlukan alat bantu berupa mikroskop dan bidang inilah yang menjadi salah satu bidang keilmuan Prof. Dr. Rubiyanto Kapid.
Dalam mengidentifikasi mikrofosil hanya memerlukan sampel yang sedikit. Ukuran yang sangat kecil ini mengakibatkan jumlah dari mikrofosil yang ada di dalam batuan sedimen itu sangat melimpah. Selanjutnya, sampel batuan dilakukan preparasi terlebih dahulu kemudian diidentifikasi menggunakan mikroskop. Pada kesempatan tersebut, Prof. Rubi menjelaskan tentang nannofossil, polen dan spora, serta foraminifera.
Mengenal Nanofosil Gampingan
Nanofosil gampingan merupakan organisme yang berukuran sangat kecil (±2,25 µ) dengan penyusun tubuhnya berupa lempeng gampingan (Coccolith) yang berasal dari Coccolitophore. Coccolitophore adalah suatu organisme yang menghasilkan lempeng gampingan yang berhubungan satu sama lain membentuk struktur atau kerangka yang bulat atau silindris serta melingkupi seluruh atau sebagian tubuhnya. Apabila tubuh Coccolitophore telah tertutupi sepenuhnya oleh Coccolith maka disebut Coccosphere.
Coccolith memiliki beragam bentuk seperti bulat sederhana, silindris, memanjang seperti rambut, bintang, dan menyerupai bunga. Terkadang, di alam juga terdapat Coccosphere yang memiliki dua Coccolith yang berbeda atau disebut sebagai Dimorphism. Fenomena ini terjadi akibat dari perbedaan perkembangbiakan yang dilakukan oleh mikroorganisme. Dimorphism dapat digunakan untuk menginterpretasikan proses pembentukan batuan tersebut.
Coccosphere yang mati akibat termakan predator akan melepaskan Coccolith ke alam secara bebas sehingga menjadi individu Nanofosil yang tersebar di seluruh sedimen dasar laut. Kenampakan individu Nanofosil dapat dilihat menggunakan mikroksop polarisasi sehingga selain terlihat bentuknya, juga dapat terlihat jelas sifat optisnya.
Selain nanofosil, Prof. Rubi juga menjelaskan tentang Palinologi atau ilmu yang memelajari serbuk atau debu (polen atau spora) berukuran 5-500 mikrometer. Polen dapat dijumpai pada tumbuhan berbunga sehingga sangat erat kaitannya dengan madu. Sehingga lebih lanjut berkembang ilmu yang mempelajari analisis kandungan polen dalam madu Melisopalinologi.
Mikrofosil Foraminifera
Selanjutnya, Prof. Rubi menjelaskan tentang mikrofosil Foraminifera. Berdasarkan ukurannya dibagi menjadi dua yakni Foraminifera Besar (berukuran mm) dan Foraminifera Kecil. Selanjutnya, foraminifera kecil dibagi menjadi dua berdasarkan bentuknya yakni foraminifera planktonik dan benthonik. Foraminifera planktonik itu hidup di kolom air dengan bentuk yang sangat aerodinamik sedangkan yang bentik itu hidup pada dasar sedimen dengan bentuk yang lancip/lonjong.
Menurut Prof. Rubi, banyak kegunaan dalam mempelajari Mikrofosil. Semua mikrofosil masing-masing memiliki biozonasi atau kerangka umur dari kehidupan mikroorganisme tersebut terhadap skala waktu geologi sehingga dapat digunakan menyusun batuan yang kita teliti itu mulai dari yang tua sampai yang muda. Selain itu, interpretasi lingkungan pengendapan, korelasi biostratigrafi atau menghubungkan satu tempat dengan tempat yang lain berdasarkan kesamaan fosilnya, sikuen stratigrafi apakah dulu pernah mengalami rise sea level atau drop sea level, paleoklimat, dan dapat membuat burial history atau pemendaman sedimen dari suatu daerah atau cekungan yang sampai saat ini masih dikembangkan.
Di penutupnya, Prof. Rubi berharap Ilmu tentang Mikrofosil dapat terus berkembang dan tidak menutup kemungkinan bisa berdampingan dengan teknologi. Digitalisasi Mikrofosil harapannya bisa segera hadir di masa depan berupa aplikasi pengenalan mikrofosil. Sehingga, tidak diperlukan lagi alat-alat dengan ratusan juta untuk mengidentifikasi mikrofosil dalam batuan sedimen.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)
scan for download