Mahasiswa Teknik Geofisika ITB Lakukan Ekskursi ke PLTA Cirata
Kunjungan ini, menurut Dr. Wahyudi Parnadi selaku dosen pembimbing eksursi adalah guna mengetahui hubungan Waduk Cirata dengan teknik geofisika dan geologi. Pengarahan awal dibuka oleh Dedi Sulanja, Manajer Perawatan dan Pengelola Waduk Cirata. Ilmu geofisika, menurutnya akan sangat terpakai untuk mengatasi masalah keteknikan dan lingkungan yang ada pada Waduk Cirata.
Haris Pradipta dari Divisi Pemeliharaan Bendungan menjelaskan bahwa waduk yang airnya berasal dari aliran PLTA Rajamandala dan Saguling ini merupakan Pembangkit Litrik Tenaga Air (PLTA) terbesar di Asia Tenggara yang mulai didirikan pada tahun 1987. Waduk yang berada di Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur ini memiliki kapasitas listrik yang mencapai 540 m3/s atau setara dengan 1008 megawatt (MW) dengan produksi energi listrik rata-rata 1.428 giga watthour (GWh) setiap tahunnya.
Tipe Bendungan Cirata adalah CFRD (concrete-faced rockfill dam), yaitu bendungan yang terdiri dari timbunan batuan breksi dan memiliki permukaan yang dilapisi beton agar tahan dengan cuaca ekstrem. Beton ini dipasang terpisah di 32 site guna mengontrol debit air sehingga walaupun masih ada air yang bisa merembes namun jumlahnya yang terkontrol. Di bagian paling atas, disebar material campuran untuk melindungi beton. Dilakukan pula perencanaan muka air pada bendungan ini agar pada bulan kering waduk tidak mengering, sementara pada bulan basah waduk tidak meluap. "Di awal perjanjian dengan negara, kami menyatakan bahwa setiap tetes air di Cirata harus menjadi energi," tutur Haris.
PLTA bekerja dengan cara memindahkan air pada waduk melalui tangki mendatar. Energi potensial dari air menggerakkan turbin sehingga menghasilkan energi gerak yang dikonversi menjadi energi listrik oleh generator. Energi listrik dari generator ini diatur dan ditransfer oleh transformer utama agar sesuai dengan kapasitas untuk dibagikan ke rumah-rumah. Pada PLTA ini juga dilakukan pemantauan untuk empat hal, yaitu transportasi air, kebocoran, gempa, dan sabotase. Pada transportasi air, beton-beton yang dilewati air dikontrol untuk mencegah terjadinya erosi. Sedangkan pemantauan kebocoran, menurut Haris, sangat membutuhkan tenaga dari geofisika untuk dapat mengidentifikasi kondisi tubuh bendungan apabila terdapat keretakan yang harus ditindak. Sementara itu, pemantauan gempa dilakukan untuk mengetahui besar kekuatan gempa apabila terdapat guncangan. Gempa yang dapat mengganggu PLTA Cirata adalah gempa dengan magnitudo skala 9. Perlu juga dilakukan pengamanan untuk mencegah terjadinya sabotase. Pasalnya, hal tersebut selain akan merusak sistem di waduk juga akan memutus jalur transportasi Bandung, Purwakarta, dan Karawang.
Peserta kuliah juga diajak berkeliling melihat lokasi waduk Cirata, termasuk power house PLTA Cirata yang terletak di bawah tanah. Di sana, Haris menjelaskan bahwa listrik PLTA Cirata yang dihasilkan dari generatornya bertegangan 16,5 kV dan dialirkan ke trafo utama. Pada trafo utama listrik tersebut dinaikkan tegangannya menjadi tegangan ekstra tinggi di GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi) Cirata. Dari GITET Cirata, energi listrik tersebut selanjutnya dialirkan melalui sistem interkoneksi Jawa - Bali.
Amelia Annisa (Teknik Geofisika 2012) mengaku mendapat manfaat besar dari kegiatan ekskursi ini. "Kunjungan ini membuat saya berpikir banyak mengenai hal yang bisa kami lakukan nantinya sebagai geophysicist. Saya juga mendapat gambaran nyata dari sistem pada PLTA langsung dari lokasinya," ujarnya.
scan for download