Delik Hudalah, Budayakan Riset dan Publikasi

Oleh Neli Syahida

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Kawasan metropolitan di Indonesia merupakan kawasan yang berkontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional serta sebagai wadah bagi banyak kepentingan dan aktivitas. Selain itu, kawasan metropolitan juga sebagai pusat kegiatan ekonomi yang menampung banyak tenaga kerja serta memproduksi barang dan jasa. Signifikansi dari pengaruh metropolitan tersebutlah yang melandasi Delik Hudalah, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota ITB untuk mengembangkan riset megenai kota metropolitan. "Kawasan metropolitan merupakan media interaksi dengan kota di luar negeri, gerbang globalisasi, dan permasalahan yang paling sering muncul adalah penataan ruangnya," ungkapnya.

Namun, yang menjadi ketertarikan Delik, begitu ia biasa disapa, adalah kawasan-kawasan pinggiran dari kota metropolitan tersebut. "Kota-kota metropolitan kalau tanpa wilayah pinggirannya pasti tidak akan bisa maju, contohnya Jakarta tanpa Bekasi dan Bogor, Bandung Raya tanpa Kabupaten Bandung Barat dan Bandung Timur, serta kota metropolitan besar seperti Singapura pasti akan roboh tanpa keberadaan Johor dan Batam," ucapnya. Kota-kota pinggiran tersebut atau yang biasa disebut suburban bagi Delik merupakan komponen penting yang sering diabaikan karena terlalu terpusat pada kota intinya. Baginya, perlu sebuah pemahaman dari perencana mengenai bagaimana dinamika dari suburban sebagai input dari kota inti.

Riset ini diawali pada tahun 2011 secara berkelanjutan hingga tahun 2015. Pada akhir penelitiannya tersebut Delik ingin menghasilkan sebuah buku. "Tapi kalaupun tidak membuat buku, paling tidak saya ingin membuat workshop yang kalau bisa sampai melingkupi Asia Tenggara. Selama ini penelitian urban di Indonesia malah diteliti oleh orang luar negeri. Memang permasalahan di Indonesia kompleks, jadi tidak bisa dilakukan sendiri, tapi Indonesia seharusnya bisa sebagai leader minimal se-Asia Tenggara," tambahnya. Menurutnya, ITB bisa menjadi leader untuk hal tersebut sebagai salah satu institut tertua dan terbesar di Indonsesia. Apalagi ITB memiliki budaya riset yang lebih maju dibanding dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Selalu Cumlaude Belum Tentu Selalu Mulus Perjalanannya

Pria kelahiran Bandung, 20 Agustus 1982 ini memulai sekolahnya di kampung Banjaran, Bandung Selatan, yang menurutnya bahkan tidak terdapat di peta. "Tempat saya sekolah SD dulu di diskotik, alias daerah sisi kota," ungkapnya sembari tertawa. Hingga pada akhirnya dia melanjutkan kuliah di ITB jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota pada tahun 2000. Prestasinya saat mahasiswa sebagai mahasiswa berprestasi fakultas membuatnya mendapatkan beasiswa double degree ke University of Groningen, Belanda. Kemudian Delik kembali melanjutkan kuliah pascasarjana di universitas tersebut dan meraih predikat cumlaude, yang juga diraihnya saat lulus dari ITB. Namun predikat tersebut tidak mudah diraihnya. Dulu saat semester awal sekolah pascasarjananya, Delik mengalami titik terendah karena sempat mendapatkan nilai yang bisa dibilang merupakan nilai tingkat terendah di Belanda. Ia kemudian memotivasi dirinya bahwa kelak, saat Ia menjadi akademisi, ingin menjadi panutan yang baik bagi anak didiknya.

Delik melanjutkan sekolah doktornya di University of Groningen juga dengan bermodal 'nekat' karena beasiswa yang ia dapatkan hanya selama dua tahun. Namun, di tengah-tengah masa kuliahnya ia terus berjuang untuk mendapatkan beasiswa, salah satunya adalah dengan memperbanyak publikasi ke beberapa jurnal. Delik memiliki pandangan, bahwa dengan melakukan publikasi, Ia lebih bisa memberi manfaat ke orang banyak, tidak hanya kepada anak didiknya. Pada akhir pendidikan doktornya, Ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti postdoctoral yang langsung diserahkan oleh Queen Belanda pada saat itu.

Terapkan Budaya Riset dan Publikasi

Menulis merupakan kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari sosok Delik Hudalah. Ia telah membiasakan dirinya menulis sejak masih bersekolah. Bahkan sudah banyak publikasinya yang tembus hingga jurnal internasional bersama beberapa rekannya. Beberapa jurnal tersebut antara lain "Beyond property: industrial estates and post-suburban transformation in Jakarta Metropolitan Region dan Spatial Planning System in Transitional Indonesia."

Baginya, dari menulis banyak pelajaran hidup yang bisa didapatkan, mulai dari dicerca oleh reviewer sampai penolakan oleh tim pembimbing. "Tapi, kalau kita tidak terus mencoba, kita tidak akan pernah tau akhirnya," ucapnya. Dengan meningkatnya budaya publikasi, ia berharap kontribusi Indonesia terhadap pengetahuan di dunia akan meningkat serta kendala akan kurangnya apresiasi terhadap riset di Indonesia berangsur berkurang. Terkait risetnya kini, Delik ingin berkolaborasi dengan negara-negara se-Asia Tenggara untuk saling bekerjasama membangun networking dalam hal penataan ruang. "Terkait rencana, selama ini saya fokus pada topik nasional, ke depan saya ingin meneliti kasus Asia Tenggara atau Asia Timur Raya. Selama ini fokus pada publikasi jurnal, tahun depan saya bertekad menyelesaikan penulisan buku agar dampaknya lebih luas," ungkap Delik optimis.

Oleh: Luh Komang Wijayanti (ITB Journalist Apprentice 2013)


scan for download