Djoko Suharto: Otonomi Perguruan Tinggi, Bukan Berarti Bebas Tanpa Batas

Oleh Hafshah Najma Ashrawi

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id- "Di negeri ini, pendidikan merupakan suatu barang mewah" sebuah pernyataan yang kerap kali terlontar ketika isu mengenai pendidikan diangkat di negeri ini. Berbicara mengenai isu pendidikan, tentu hari-hari ini perdebatan mengenai UU Nomor 2012 tentang Pendidikan Tinggi turut mewarnai ranah media. Tidak dapat dipungkiri UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ini menuai banyak kontroversi, dimulai dari gugatan pelanggaran konstitusi, paradigma pendidikan tinggi yang berpandangan profit oriented, hingga terakhir merupakan isu biaya kuliah yang tinggi. Berkaitan dengan isu ini, Prof. Dr. Ir. Djoko Suharto, M.Sc., selaku Wakil Ketua Majelis Wali Amanat ITB tahun 2013 berkenan memberikan pendapatnya kepada Kantor Berita ITB. Bertempat di Gedung BPI Dipati Ukur, Djoko menerangkan pendapatnya mengenai penetapan Undang-Undang Perguruan Tinggi tersebut.

ITB bisa dikatakan merupakan pendidikan tinggi yang sudah tidak asing lagi dengan kata 'otonomi'. Setelah ditetapkan sebagai PT BHMN pada tahun 2001, status hukum ITB turut mengalami pasang surut sehingga akhirnya terbit  UU Nomor 12 tahun 2012 (dengan catatan saat ini masih terdapat 'judicial review' terhadap UU tersebut di Mahkamah Konstitusi). Disusul kemudian dengan terbitnya PP 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum dan PP 65 Tahun 2013 tentang Statuta Institut Teknologi Bandung, status hukum ITB sekarang sudah lebih jelas dan pengembangan ITB ke depan akan lebih otonom.

Bagaimana dengan persepsi-persepsi di atas yang sudah disebutkan sebelumnya? paradigma menjadi badan hukum yang sama dengan proses privatisasi merupakan sebuah hal yang dianggap umum di masyarakat. "Pertama-tama, perlu diketahui terlebih dahulu apakah itu sebenarnya Badan Hukum Publik.  Disebut badan hukum publik karena merupakan badan negara atau pemerintah yang menjalankan fungsi-fungsi atau tugas pemerintahan, tetapi diberi status sebagai badan hukum, bukan karena ada penyertaan modal negara atau pemerintah," ujar Djoko. Selain itu, frasa otonomi juga kerap kali salah kaprah diartikan. "Otonomi mengandung makna kemandirian, dan bukan suatu susunan kemerdekaan yang berdaulat. Sehingga otonomi merupakan suatu bagian, satu kesatuan dari satuan kesatuan yang lebih besar yaitu negara," terangnya dengan mengutip pernyataan Prof. Bagir Manan saat membela pihak terkait termasuk ITB di Mahkamah Konstitusi.

Jelaslah definisi dari Badan Hukum Publik, saat ini ITB merupakan Perguruan Tinggi Negeri yang diberi status sebagai Badan Hukum Publik dengan bentuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan bukan Badan Layanan Umum karena ITB memilih otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan non-akademik. Dengan pengaturan pengelolaan ini, diharapkan ITB mampu lebih berkembang dengan lebih cepat dalam hal pendidikan dan penelitian serta pengabdian masyarakat terutama dalam pengembangan teknologi dan industri di Indonesia.

Kurang lebih selama 10 tahun , ITB sudah mempunyai pengalaman dalam mengelola badan hukum publik  pada era PT BHMN  2002 silam. "Saya menyebutnya era Otonomi 1.0, dari 10 tahun keberjalanan ITB tersebut, banyak pelajaran yang dapat diperoleh yang sekaligus dapat dijadikan acuan implementasi dari statuta ITB (PP 65 Tahun 2013, red.) dan juga banyak hal yang perlu dievaluasi supaya persepsi yang salah terutama untuk masalah komersialiasi atau privatisasi bisa dihilangkan," tegas Djoko. Hal yang perlu ditekankan adalah mengenai pengertian Badan Hukum Publik dimana negara masih mempunyai tanggung jawab secara tidak langsung, terlebih dalam PP 58 2013 sudah jelas diatur mengenai subsidi untuk dana operasi dan hibah untuk dana investasi. "Tantangan utamanya terletak pada langkah implementasi, kelihatannya kita memang harus belajar lebih banyak dalam tata kelolanya. Masalahnya terletak pada implementasi pengaturan pendanaan yang masih belum sesuai harapan, bukan pada pelanggaran konstitusi," lanjutnya.

Otonomi sebagai Pengubahan Budaya

Merenungkan kembali jiwa UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa pada waktu tersebut visi yang dipegang adalah agar Indonesia menuju ke sistem 'welfare state' dengan negara memegang peranan besar. Hal tersebut tercermin dalam pasal dan ayat yang mengatur sektor pendidikan, kesehatan, perekonomian sampai dengan usaha komersial negara. "Namun perlu diwaspadai bahwa implementasi dari 'welfare state' juga bukan masalah yang mudah. Misalnya kita bisa belajar dari kegagalan beberapa negara seperti yang terjadi di Yunani saat ini. Zaman sudah berubah dan sistem privat tidak sedikit yang terbukti berhasil memajukan negara terutama untuk menjalankan badan usaha. Saya berpendapat bahwa kedua sistem tersebut bisa berjalan beriringan," ujar Djoko.

Badan Hukum Publik harus dijalankan dengan profesional dan dipimpin oleh orang-orang terpilih serta diimplementasikan dengan lugas dan tegas. "Saat ini Indonesia juga sedang menyiapkan diri untuk menjalankan Badan Hukum Publik yang dampaknya akan besar sekali bila diimplementasikan dengan baik, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan dan Pensiun/Hari Tua. Kelihatannya  memang sudah waktunya Badan Hukum Publik bisa fokus dan konsentrasi menjalankan fungsinya untuk memajukan Indonesia," papar Djoko. "Masyarakat yang sudah terbiasa menerima perintah dengan semua aturan, surat keputusan , petunjuk pelaksanaan, dan sebagainya yang diberikan dari atas tanpa melihat situasi dan kondisi lokal, akan sulit berubah menuju otonomi," lanjutnya

Analogi transformasi budaya sebuah perguruan tinggi pra otonomi, diibaratkan sebagai seseorang yang bermental pegawai, menjadi perguruan tinggi otonomi yang diibaratkan seseorang bermental investor. Tetapi dalam hal ini, hendaknya dipahami bahwa analogi antara perguruan tinggi otonomi dengan investor tidak diartikan atau dipersepsikan sebagai keharusan perguruan tinggi untuk mengusahakan sendiri 100% dana yang dibutuhkan, perlu diingat bahwa investasi perguruan tinggi yang terutama adalah untuk pendidikan, penelitian, dan pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Utamakan Peran Pendidikan Tinggi dalam Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat

Benar apabila dikaitkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, fokus kegiatan lebih diarahkan kepada pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada masyarakat. Meski demikian, bukan tidak mungkin bila suatu saat kegiatan pengabdian masyarakat dikembangkan sedemikian rupa sehingga menumbuhkan industri , yang pada akhirnya dapat menyejahterakan masyarakat. Terkait status sendiri, dengan perguruan tinggi otonomi dan berbadan hukum yang legal menggunakan dana masyarakat, maka sebuah perguruan tinggi harus mempunyai rencana yang jelas dalam menggunakan dana block grant maupun dana masyarakat. "Selain itu, pemanfaatan dana tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab serta melalui proses yang transparan. Perbandingan antara dana dari pemerintah dan masyarakat  (termasuk dari perusahaan swasta) juga harus tercermin dalam perencanaan anggaran perguruan tinggi, sehingga bukan berarti otonomi itu merdeka sendiri tetapi juga memiliki batas," ujar Djoko.

Pada akhir wawancara, Djoko kembali menuturkan harapannya untuk keberjalanan ITB dalam menghadapi era Otonomi 2.0 dan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia lainnya, "Dalam menjalankan fungsi pendidikan, negara harus  tetap hadir dan mengawasi implementasi dari Badan Hukum Publik ini, supaya pendidikan tinggi di negeri  ini lebih merupakan 'public good', bukan berupa bawang mewah yang hanya kalangan tertentu dapat menikmatinya," ujar Djoko menutup wawancara.


scan for download