Suryo Utomo, S.E,, AK., M.AK.: Dibalik Pelemahan Rupiah

Oleh Bayu Septyo

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Berbagai harian berita tanah air telah ramai memberitakan rupiah yang kian merosot. Bahkan, belakangan beberapa media mengeluarkan pernyataan bahwa rupiah menuju titik terlemahnya setelah 17 tahun pasca reformasi. Walaupun secara nasional tidak ada pemberitaan yang mengarah kepada krisis ekonomi, namun tentu saja mengundang banyak perhatian. Ditambah lagi, efek turunan daripada hal tersebut dapat menyentuh kegiatan ekonomi langsung yang berkenaan dengan masyarakat di lapangan.

Untuk itu, Kantor Berita ITB menyambangi salah satu dosen finansial SBM-ITB untuk mendapatkan pandangan terkait hal ini. Ia adalah Suryo Utomo, S.E,, AK., M.AK., yang telah bergabung mengajar di SBM-ITB sejak 2010. Dosen muda alumnus Universitas Padjajaran yang berhasil ditemui di Laboratorium Investasi dan Pasar Modal SBM ITB ini kini tergabung dalam Sub Interest Group Business Risk and Finance (BRF) SBM-ITB.

Nilai Tukar Rupiah dan Mekanisme Ekspor-Impor

Menurut Suryo, nilai tukar rupiah berkaitan dengan mekanisme ekspor-impor yang melibatkan berbagai pihak partner dagang Indonesia. Eskpor-impor tanah air, lanjut Suryo, jika ditarik kembali secara holistik merupakan salah satu komponen perumusan Gross Domestic Product yang tergabung dalam CIGX (Consumption, Investment, Government Spending and Export-Import) dan bertanggung jawab atas kekuatan ekonomi suatu negara. Ekspor-impor inilah yang akan memberikan nilai surplus-defisit di neraca perdagangan yang mempengaruhi exchange rate rupiah. "Surplus-defisit akan mempengaruhi supply-demand untuk uang, rupiah dalam hal ini, terhadap mata uang lain," jelas Suryo.

Negara yang kuat memiliki neraca perdagangan yang surplus. Suryo menambahkan, "Sekarang kita bisa lihat dominasi Tiongkok, dengan surplus yang baik Tiongkok memiliki cadangan devisa yang besar yang dapat mengatur nilai tukar dengan intervensi pemerintah melalui mekanisme pasar jual beli valas". Dengan demikian mata uang Tiongkok dapat dijaga stabil. Memang, menurut BI dalam situsnya, cadangan devisa Indonesia terakhir pada bulan juni justru memiliki tren menurun sebesar US$2.80 miliar dari bulan mei sebelumnya. Namun demikian dinyatakan pula bahwa Indonesia dalam keadaan aman baik untuk ketahanan eksternal maupun pertumbuhan ekonomi.

"Dalam Ekonomi tidak ada hal yang absolut, semua ukurannya adalah relatif, tergantung siapa kita dan bagaimana memandangnya," tekan Suryo.

Keadaan normal dan baik-buruknya kekuatan mata uang dipandang berbeda-beda tergantung sudut pandang setiap pihak. Penguatan rupiah yang umumnya dianggap baik justru memicu impor yang dapat mematikan pasar dalam negeri. "Dengan naiknya nilai rupiah (daya beli-red), keinginan impor barang meninggi, namun jika yang diimpor adalah barang jadi akan sangat mungkin berpotensi menghancurkan pasar produk di dalam negeri," contoh Suryo. Terlepas dari naik-turunnya rupiah, bagi pengusaha ataupun investor, Suryo melihat kenyataan bahwa yang diinginkan oleh mereka hanyalah stabilnya nilai tukar tersebut. Hal tersebut akan memberikan kepastian jangka panjang yang sangat berguna bagi kelangsungan usaha tiap-tiap pihak. Untuk itu ada level-level aman standar pada kekuatan mata uang rupiah yang ditetapkan Bank Indonesia (BI). Bagaimanapun, Suryo mengingatkan bahwa BI memiliki tanggung jawab akan hal tersebut, "Kalau lihat kan kita ke Gubernur BI ya, bahwa sebenernya level yang ada sekarang aman gak sih?" ungkap Suryo.

Tiga Apek Utama Mekanisme Penguatan dan Pelemahan Rupiah

Untuk melihat mekanisme penguatan dan pelemahan rupiah terdapat pula rumusan secara konseptual menurut Suryo. Ada tiga aspek utama diantaranya adalah Daya Beli, Interest Rate (Tingkat Suku Bunga), dan Tingkat Harga. Daya beli yang baik (menguatnya rupiah-red) akan meningkatkan keinginan masyarakat membeli barang impor. Dengan begitu rupiah akan dijual menjadi dollar untuk melakukan transaksi pembayaran yang pada dasarnya akan menurunkan nilai tukar rupiah. Sehingga daya beli yang baik justru perlahan dapat menurunkan nilai tukar sebuah mata uang itu sendiri. BI Rate, Interest Rate Indonesia yang diatur BI, merupakan salah satu yang tertinggi dibanding negara lainnya di dunia. Konsekuensinya masyarakat akan gemar menginvestasikan dananya sehingga investasi akan berjalan dengan baik dan inflow rupiah membaik. Dengan demikian rupiah dibeli dan nilai tukar menguat dan begitu sebaliknya ketika BI Rate menurun. Sedangkan pengaruh tingkat harga dapat dilihat ketika terjadi inflasi, masyarakat melihat produk dalam negeri yang mahal dan memilih membeli barang yang sama dari luar negeri yang lebih murah. Pembayaran yang menggunakan dollar secara otomatis memaksa masyarakat menjual rupiah dan akan semakin mendepresiasi rupiah di mata dunia. "Ketika inflasi tinggi, kegiatan impor masyarakat semakin menurunkan nilai tukar rupiah di Dunia", tukas Suryo.

Pengaruh Perubahan Kebijakan Moneter dan Fenomena Politik Dunia

Adapun Suryo menambahkan bahwa ketakutan masyarakat belakangan yang mengira rupiah akan jatuh secara drastis juga disebabkan oleh berhentinya Quantitative Easing (QE) dan berbagai kebijakan yang dilakukan The Federal, Bank Sentral Amerika, yang mengurus kebijakan moneter negeri paman sam tersebut. Contohnya saja kebijakan QE yang merupakan reaksi atas krisis global 2008 membuat investor dunia tidak lagi tertarik menginvestasikan dananya di Amerika Serikat dan mencari negara emerging market seperti Indonesia. Namun ketika akhir tahun 2014 pada akhirnya QE telah dihentikan, terjadi capital flight yang masif dari Indonesia yang menyebabkan saham dalam bentuk rupiah kembali dijual besar-besaran yang menyebabkan rupiah terdepresiasi. Terkait dengan kebijakan lainnya, Suryo membenarkan bahwa pemerintah tidak memiliki perangkat hukum yang dapat menahan dana investasi asing agar tidak langsung keluar secara masif selain menjaga interest rate Indonesia melalui BI. "Uang masuk ke Indonesia, mau masuk mau keluar tidak ada pembatasnya, artinya rezim kita (devisa-red) bebas," tegas Suryo.

Selain itu, pengaruh fenomena politik dan ekonomi dunia seperti bangkrutnya Yunani dan hard landing-nya ekonomi China juga dapat saja berpengaruh pada rupiah ekonomi negara berpenduduk dua ratusan juta ini. Namun demikian Suryo mengingatkan kepada masyarakat bahwa banyak rumor untuk hal tersebut dan yang terpenting adalah memperoleh sebanyak mungkin informasi yang valid. Adapun gerak-gerik pemerintah juga harus dipahami oleh masyarakat yang utamanya dituntut menjaga tingkat harga dan hal-hal lain yang berefek langsung pada masyarakat.

Ayo Melek Isu Keuangan!

Sejalan dengan dunia bisnis dan keuangan yang sangat bergantung dengan budaya informasi, Suryo berharap agar para mahasiswa dan akademisi juga meluaskan kapasitasnya dalam hal menyerap informasi karena informasi dapat mengubah budaya berpikir manusia dan mengedukasi negara ini secara umum. "Intinya adalah edukasi keuangan, semakin melek masyarakat dengan keuangan ya semakin mau menginvestasikan dalam pasar, jadi ya gak takut ketika dana keluar karena dana dalam negeri ditopang investor dalam negeri yang banyak dan rupiah tetap aman, jadi ya kita berdikari," yakin Suryo.

Illustrasi: ekbis.sindonews.com dan sbm.itb.ac.id


scan for download