Biosolubilisasi Batubara: Teknologi Produksi Bahan Bakar Cair dari Batubara

Oleh Nur Huda Arif

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Seiring dengan kemajuan peradaban dan peningkatan populasi manusia, kebutuhan akan energi kian tinggi. Terlebih lagi konsumsi energi fosil seperti minyak dan gas bumi serta batubara, telah menjadi sumber energi utama dunia semenjak lahirnya revolusi industri pada abad ke-18. Saat ini, sekitar 40% energi dunia dibangkitkan dari batubara sehingga batubara memiliki peranan yang penting dalam penyediaan energi dunia. Walaupun pada saat ini pengembangan dan penggunaan energi baru dan terbarukan sedang digalakkan, namun penggunaan batubara tidak surut. Cadangan batubara dunia sendiri mengalami peningkatan sebesar 14% dari tahun 1993 hingga 2011. Begitu pula dengan produksi batubara yang mengalami peningkatan lebih dari 68% dalam selang waktu yang sama. Eksplorasi dan produksi batubara yang meningkat ini terjadi karena kebutuhan manusia akan energi semakin meningkat terutama energi listrik yang dibangkitkan dari batubara.

Menurut World Energy Council (2013), cadangan (reserve) batubara dunia mencapai 891.530 juta ton dengan cadangan terbesar terdapat di Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Sementara, Indonesia memiliki cadangan sebesar 28.017 juta ton dengan produksi 353,3 juta ton per tahun. Bahkan, pada tahun 2011 Indonesia mampu mengalahkan Australia sebagai negara pengekspor batubara terbesar di dunia dengan ekspor mencapai 300 juta ton per tahun. Dengan potensi yang besar tersebut, Indonesia seharusnya dapat mengurangi masalah krisis energi yang telah memberikan dampak serius pada perkenomian negara dalam satu dasawarsa terakhir ini. Hal ini pernah dialami Afrika Selatan ketika negera tersebut mengalami embargo terhadap akses minyak dan gas sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minyak dan gasnya. Alhasil, dikembangkan teknologi pencairan batubara secara termal (likuifaksi) melalui proses Fischer-Tropsch atau teknologi SASOL (South Africa Synthetic Oil Liquid) sehingga kebutuhan akan bahan bakar cair dapat terpenuhi. Berkaca dari hal tersebut, diperlukan penggembangan teknologi pengolahan batubara sebagai sumber energi di Indonesia, mengingat potensinya yang besar dan ragam kualitas batubara Indonesia yang relatif rendah.

Pengembangan Solusi Alternatif Kelangkaan Energi

Proses likuifaksi batubara yang dilakukan oleh Afrika Selatan  merupakan proses pencairan batubara yang telah dikenal sejak dimulainya perang dunia pada awal abad ke-20. Di samping itu, terdapat metode lain dalam pencairan batubara yaitu secara biologis yang dikenal dengan biosolubilisasi. Teknologi yang relatif baru dan masih dalam tahap pengembangan ini menggelitik Dr. Pingkan Aditiwati (Dosen Progam Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati), Dr. Dwiwahju Sasongko, Ph.D (Dosen Progam Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Insutri), dan Dr. Dea Indriani (Dosen Progam Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati) untuk melakukan penelitian terkait. Menurut Pingkan, penelitian batubara dari segi biologis masih jarang dilakukan karena selama ini penelitian mengenai batubara lebih banyak terfokus pada konversi termal, seperti pirolisis, likuifaksi, gasifikasi, dan pembakaran. Teknologi biosolubilisasi ini dinilai memiliki beberapa sisi yang menguntungkan, seperti lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan tidak banyak membutuhkan energi eksternal karena kondisi operasi yang lebih lunak (pada tekanan dan temperatur ruang) berbeda dengan proses konversi termal yang pada umumnya dilakukan pada tekanan dan tempertur yang tinggi sehingga kebutuhan energi lebih tinggi.

Berawal dari penelitian biodesulfurisasi (menguraikan sulfur pada batubara) yang dilakukan oleh mahasiswa doktoral dibawah bimbingan Dr. Pingkan, penelitian berlanjut pada pencairan batubara dengan menggunakan organisme. Diawali dengan pengidentifikasian jenis organisme pada batubara dengan melakukan isolasi pada beberapa sampel batubara yang berada pada lapisan yang berbeda, kemudian dilakukan pengurutan DNA sehingga diperoleh informasi genetik dari organisme yang terdapat pada batubara. Berangkat dari informasi tersebut, dikembangkan organisme yang cocok untuk proses pencairan batubara secara biologis ini, salah satu organisme yang memiliki potensi tinggi dalam biosolubilisasi batubara adalah jamur Trichoderma sp.

Dalam proses pencairan batubara ini terdapat dua metode yaitu submerged (dalam fasa cair) dan solid state (dalam fasa padat). Pada awalnya dipilih metode submerged dimana batubara dihaluskan hingga berukuran 200-400 mesh kemudian didegradasi oleh jamur dengan air atau larutan sebagai mediumnya. Pada prosesnya, metode ini memiliki kesulitan pada saat pemisahan air dan pengotor lainnya. Terlebih, ketika telah diterapkan dalam skala besar, proses pemisahan ini tidak lagi efisien. Sementara itu, metode solid state dilakukan hanya dengan menaburkan jamur pada batubara yang telah dihaluskan. Metode ini dirasa lebih efisien dari submerged,  oleh karenanya diputuskan akan dilakukannya pengembangan lebih lanjut biosolubilisasi batubara dengan metode fermentasi solid state. Hasil utama dari proses biologis ini adalah asam humat yang kemudian dapat difraksinasi sehingga dapat diperoleh fraksi-fraksi yang setara dengan bahan bakar cair, seperti bensin, solar, dan sebagainya. Selain itu, dilakukan pula penelitian mengenai perlakuan batubara sebelum proses biosolubilisasi dengan cara meradiasikan batubara agar ikatan-ikatan kompleksnya terdegradasi sehingga proses degradasi oleh organisme nantinya akan lebih mudah. "Cita-cita saya kedepannya, proses biosolubilisasi ini nantinya dapat diaplikasikan langsung dalam tambang batubara atau in situ sehingga dapat diperoleh bahan bakar cair dari tambang batubara", ungkap Sasongko.


scan for download