Bagaimana Potensi dan Perkembangan Eksplorasi Panas Bumi di Indonesia?

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id — Program Studi Magister Teknik Geotermal ITB kembali mengadakan Geothermal Forum dengan tema Updating Kegiatan dan Regulasi Eksplorasi Panas Bumi di Indonesia, Jumat (27/5/2022). Forum ini menghadirkan Herlambang Setyawan, S.T., M.Si., selaku Sub Koordinator Pengawasan Eksplorasi Panas Bumi serta Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE sebagai pembicara.

Dalam pemaparannya, Herlambang menjelaskan bahwa pengembangan panas bumi di Indonesia sangat penting karena sumber dayanya melimpah. Selain itu, sumber energi panas bumi juga salah satu bentuk energi bersih yang ramah lingkungan serta selalu terbarukan. Herlambang menyebut bahwa potensi energi listrik dari panas bumi yang dapat dikembangkan saat ini mencapai 23,36 Gigawatt. Namun kenyataannya pemanfaatan di sektor ketenagalistrikan baru sekitar 2,29 Gigawatt dengan nilai investasi 0,731 USD.

“Pemanfaatan panas bumi untuk tenaga listrik masih sangat kecil dibanding sumber daya yang ada, tidak sampai sepuluh persen. Padahal harapannya panas bumi dapat menjadi tulang punggung sistem ketenagalistrikan masa depan dalam rangka menunjang program net zero emission Indonesia tahun 2060,” ungkap Herlambang.

Hal ini sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN yang menargetkan tambahan kapasitas pembangkit untuk PLTP mencapai 3.355 Megawatt untuk sepuluh tahun ke depan. Untuk mewujudkan target ini, skema pengusahaan panas bumi dibagi menjadi dua jenis Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yaitu WKP baru dan WKP eksisting yang dilakukan melalui kegiatan eksplorasi, eksploitasi, serta pemanfaatan.

“Saat ini sudah ada 63 WKP dan 15 WPSPE, di mana status WKP tersebut ada yang sudah berproduksi, ada yang masih dalam tahap eksploitasi, ada yang masih mengajukan studi kelayakan, bahkan beberapa WKP belum ada pengembangnya. Untuk WPSPE, sudah ada 12 badan usaha pelaksana Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) yang salah satunya telah melakukan pengeboran dalam rangka eksplorasi,” jelas Herlambang.

Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, pada Pasal 31 disebutkan bahwa eksplorasi panas bumi dilakukan paling lama 5 tahun sejak Izin Panas Bumi (IPB) diterbitkan dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing dengan satu tahun perpanjangan. Namun dengan adanya target percepatan eksplorasi, pemerintah melakukan intervensi regulasi melalui Rancangan Keputusan Menteri ESDM tentang Pedoman Pelaksanaan Perpanjangan Jangka Waktu Eksplorasi yang saat ini masih dalam tahap finalisasi. Selain melalui regulasi, upaya percepatan eksplorasi panas bumi juga menuntut kolaborasi pemerintah melalui kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan serta badan usaha melalui kegiatan PSPE terutama di wilayah Indonesia bagian timur.

Herlambang menambahkan, pada kenyataannya upaya percepatan eksplorasi panas bumi masih menghadapi beberapa tantangan besar termasuk banyaknya area prospek yang terletak pada kawasan konservasi dan hutan hujan Sumatera, hingga masalah efisiensi biaya dan akses pendanaan. Selain itu, dari sisi permintaan, efisiensi harga listrik panas bumi harus kompetitif serta perlunya mempertimbangkan aspek dinamika sosial yang dapat memengaruhi kebutuhan kelistrikan masyarakat.

“Dalam merespons berbagai tantangan tersebut, perlu komitmen yang kuat dalam menjalankan strategi pemerintah yang telah diprogramkan dari pihak badan usaha, akademisi, hingga masyarakat luas,” ujarnya.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)


scan for download