ITB-BPK Selenggarakan Seminar Program Pembangkit Listrik 35.000 Megawatt

Oleh Fatimah Larassati

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Jelang tujuh puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia, beragam aspek kenegaraan sudah seyogyanya sampai pada tahap yang menandakan esensi merdeka bangsa ini. Tidaklah bijak memang membanding-bandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang standar kesejahteraannya jauh di atas Indonesia, namun alangkah baiknya pembenahan diri dilakukan demi mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga yang notabene 'seumuran' dengan Indonesia. Salah satu dari sekian banyak aspek yang menjadi fokus pemerintah dan sedang digiatkan pengembangannya saat ini adalah aspek kelistrikan negara.

Langkah besar yang diambil oleh pemerintah untuk merealisasikan pemerataan akses penerangan bagi rakyat adalah pembangunan pembangkit-pembangkit listrik di berbagai wilayah di Indonesia dengan total daya 35.000 megawatt (MW) dalam waktu 5 tahun. Program ini merupakan tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam rangka optimalisasi pengelolaan keuangan negara dalam bidang energi terutama kelistrikan. Program ini juga merupakan bagian dari target pemerintah untuk mencapai rasio elektrifikasi nasional sebesar 96% pada tahun 2019. Oleh karena itu, BPK menyelenggarakan seminar "Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW: Menguak Mimpi Menjadi Realita" di Aula Barat ITB pada Senin (03/08/15) yang turut menghadirkan Prof. Dr. Rizal Djalil sebagai narasumber dari BPK; Menteri ESDM RI, Sudirman Said; Prof. Dr. Intan Ahmad selaku perwakilan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti); dan ahli ketenagalistrikan dari ITB, Dr. Ir. Pekik Argo Dahono (Dosen Teknik Ketenagalistikan).

Program Pembangkit Listrik 35.000 MW: Mimpi Menjadi Realita

Pembangunan pembangkit 35.000 MW ini memerlukan kesiapan dan komitmen dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, masyarakat intelek, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Diakui oleh Menteri ESDM bahwa program ini tidak semata terfokus pada pembangunan pembangkit, namun banyak poin-poin lain yang harus diperhatikan karena suatu sistem jaringan kelistrikan tidak berdiri sendiri. Menurut Sudirman, sinergisasi adalah suatu keharusan dalam menjalankan program ini sehingga berbagai kendala dan tantangan yang kelak dihadapi dapat disiapkan solusi penyelesainnya oleh ahli-ahli pada bidangnya. Dalam keberjalanan program ini juga diharapkan permasalahan-permasalahan birokrasi dan perizinan kedepannya dapat dituntaskan dengan segera serta tidak berlarut-larut dan dipersulit penyelesaiannya. "Pembangunan pembangkit pasti diikuti dengan pembangunan transmisi dan distribusi," papar Sudirman Said dalam seminar.

Seiring dengan pembangunan pembangkit yang digalakkan di berbagai titik di Indonesia, muncul pertanyaan-pertanyaan terkait dengan energi primer penggerak pembangkit-pembangkit tersebut: "Apakah tetap akan mengandalkan energi fosil seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan batubara? Apakah akan beralih ke energi alternatif lain? Jika beralih, seberapa siap Indonesia?". Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diakui oleh Prof. Dr. Intan Ahmad selaku Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiwaan Kemenristekdikti bahwa peralihan sumber energi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Hal ini disebabkan ketersediaan energi fosil yang terbatas sehingga untuk operasional jangka panjang diperlukan energi primer lain. Target bauran energi program 35.000 MW ini sendiri adalah 25% berasal dari gas, 25% EBT, dan 50% batubara.

EBT yang memungkinkan untuk dilirik penggunaannya adalah geothermal (gas bumi) dan nuklir. Untuk geothermal, ketersediaannya di Indonesia sebenarnya berlimpah terutama di daerah Sumatera dan Jawa, namun belum dimaksimalkan pemanfaatannya. Sedangkan untuk nuklir, telah banyak muncul wacana pengembangannya sebagai pembangkit listrik. Sifat nuklir cenderung ramah lingkungan karena tidak seperti bahan bakar fosil, nuklir bebas emisi.  Selain itu, jika telah berjalan, biaya yang dibutuhkan rendah karena operasionalnya tidak memerlukan bahan bakar migas atau batubara membuat nuklir sangat berpotensi menjadi solusi energi primer untuk pembangkit yang akan dibangun. Ditambah lagi banyak negara-negara terutama di Asia yang mulai beralih ke nuklir sebagai pembangkit listriknya seperti India, Vietnam, dan Malaysia.

Di Indonesia sendiri studi kelayakan lokasi untuk reaktor nuklir sebenarnya telah dilakukan sejak berpuluh tahun silam. Lokasi-lokasi potensial di pulau-pulau besar Indonesia juga telah ditemukan. Satu di antaranya yang sudah sangat siap untuk dibangun sebagai lokasi pembangkit listrik adalah Tapak Bangka di Bangka Belitung.  Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) pun sebenarnya Indonesia sudah cukup siap. Terkait dengan hal inilah keterlibatan perguruan tinggi berbasis teknologi seperti ITB dan institusi serta universitas lainnya sangat diperlukan karena nakhoda perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mendukung pelaksanaan program ini adalah sivitas akademik bangsa. Pembangunan pembangkit berbasis energi apapun pasti butuh tenaga ahli, begitu pula dengan operasional dan perawatan pembangkit tersebut. Pelibatan SDM Indonesia asli juga sekaligus sebagai bentuk apresiasi atas potensi besar generasi bangsa serta wadah kontribusi untuk memajukan bangsa ini demi Indonesia merdeka yang hakiki.

 

Sumber dokumentasi: Fatimah Larassaty (Teknik Perminyakan 2014)  dan https://truthernews.files.wordpress.com/2014/08/nucleareactor.jpg.


scan for download