Tingkatkan Pengetahuan dan Kewaspadaan Sivitas Akademika, UPT Layanan Kesehatan ITB Hadirkan Webinar Bahas Penyakit Metabolik

Oleh Adi Permana

Editor -


BANDUNG, itb.ac.id — Dalam rangka penyuluhan tentang penyakit metabolik kepada para sivitas akademika, UPT Layanan Kesehatan ITB mengadakan webinar dengan tema “Mengenal Dislipidemia dan Metabolic Syndrome” bersama dr. Rechta Antartika, Sp.PD., pada Selasa (7/2/2023). Penyuluhan ini juga merupakan tindak lanjut dari hasil medical check up yang dilakukan pada 720 orang pegawai ITB di tahun 2021. Saat itu sebanyak 676 orang atau 93,89% pegawai ITB yang menjalani pemeriksaan memiliki dislipidemia, sehingga penyuluhan tentang dislipidemia penting untuk dilakukan.

Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid dalam plasma. Kelainan yang biasa terjadi yaitu peningkatan jenis kolesterol LDL, trigliserida, dan kolesterol total. Namun kelainan ini juga dapat berupa penurunan kolesterol HDL yang merupakan kolesterol baik. Oleh karena itu, secara sederhana dislipidemia dapat diartikan sebagai ketidakseimbangan kadar kolesterol dalam darah.

“Dislipidemia sendiri ada yang sifatnya primer dan sekunder. Dislipidemia primer berarti bawaan, sifatnya genetik. Sejak lahir memang sudah tinggi kolesterolnya. Ada pasien-pasien yang seperti ini, tapi jarang. Rata-rata kejadiannya adalah dislipidemia sekunder yang dipengaruhi pola hidup dan penyakit lainnya,” kata dr. Rechta.

Dislipidemia tergolong kelainan yang umum ditemui di Indonesia maupun dunia. Meskipun demikian dislipidemia tidak dapat dianggap remeh karena jika tidak ditangani dengan baik, kelainan ini akan menyebabkan kelainan-kelainan metabolik yang lebih serius. Data WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa 37% laki laki dan 40% perempuan di dunia mengalami dislipidemia dengan jumlah kematian 2,6 juta jiwa per tahun. Tidak jauh berbeda dengan data ini, pada tahun 2013 data Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) yang dirilis menunjukkan bahwa dislipidemia terjadi pada lebih dari 35% penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun dengan jenis kelainan fraksi lipid yang berbeda-beda.


Prinsip tatalaksana pencegahan dislipidemia menurut dr. Rechta terdiri dari tiga cara, yaitu pengendalian kadar lipid, pengendalian faktor metabolik lainnya seperti obesitas dan kadar gula darah, serta pengendalian faktor risiko penyakit kardiovaskular. Jika sudah terlanjur memiliki dislipidemia, pasien akan dianjurkan untuk melakukan terapi secara farmakologis dengan obat-obatan maupun non farmakologis yang dapat dilakukan secara mandiri.

Terapi nonfarmakologis nyatanya cukup efektif dalam mendukung terapi farmakologis itu sendiri. Berbagai jenis terapi nonfarmakologis yang umum dilakukan adalah aktivitas fisik, terapi nutrisi medis melalui pola makan, dan perubahan pola hidup seperti tidak merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol.

“Kelainan kolesterol ini sangat erat kaitannya dengan kejadian penyakit kardiovaskular yang serius seperti stroke dan jantung koroner. Jadi yang bisa dikerjakan ketika sudah terjadi dislipidemia adalah mengubah pola hidup supaya tidak terjadi komplikasi. Dan kalau dari perubahan pola hidup itu belum cukup, maka baru kita berikan terapi farmakologis,” jelasnya.

Dislipidemia juga berhubungan erat dengan berbagai jenis penyakit metabolik lainnya sehingga risiko komplikasi akan semakin besar pada pasien dengan dislipidemia. Data menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes melitus memiliki risiko 2-4 kali lebih besar terkena serangan jantung dan stroke akibat dislipidemia. Selain diabetes, risiko penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner dan stroke juga akan meningkat jika seorang pasien memiliki dislipidemia. Terkait faktor risiko dislipidemia lain di luar penyakit metabolik, jenis kelamin dan usia turut berpengaruh, di mana jenis kelamin perempuan dan kelompok usia lanjut lebih berisiko.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)


scan for download