Kolokium Astronomi dalam Rangka 100 Tahun Observatorium Bosscha Bahas Perkembangan Riset Lubang Hitam

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id—Dalam rangka memperingati 100 Tahun Observatorium Bosscha, Kelompok Keahlian Astronomi menggelar kolokium astronomi bertajuk Studying Gravity Around Black Holes. Materi kolokium disampaikan oleh Prof. Paul Ho yang merupakan direktur East Asian Observatory pada Jumat (27/1/2023).

Lubang hitam sejak lama telah berhasil menyita perhatian para ilmuwan. Salah satu capaian terbesar para ilmuwan astronomi tentang lubang hitam dalam lima tahun terakhir adalah foto bayangan lubang hitam supermasif yang sempat menggemparkan dunia pada 2019.

Menggunakan Event Horizon Telescope, para ilmuwan memperoleh gambar lubang hitam di pusat galaksi M87, yang diuraikan oleh emisi dari gas panas yang berputar-putar di sekitarnya di bawah pengaruh gravitasi yang kuat di dekat cakrawala peristiwanya. Kredit: Event Horizon Telescope collaboration et al.

Foto ini sekaligus menjadi bukti kebenaran teori relativitas umum serta fisika dasar secara lebih luas. Namun faktanya, jauh sebelum para ilmuwan berhasil merekonstruksi citra lubang hitam, mereka hanya bisa memperkirakan bentuk dan posisi objek ini melalui gelombang gravitasi yang dihasilkannya.

Pada mulanya lubang hitam hanya dapat didengar melalui riak suara di antariksa yang dihasilkan dari intervensi gelombang gravitasi. Salah satu proyek yang fokus pada penelitian ini adalah Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO). Pada tahun 2015 LIGO berhasil menangkap riak gelombang gravitasi dari hasil tabrakan dua lubang hitam. Temuan ini kemudian disempurnakan dengan Subaru Hyper Suprime Cam Project yang berupaya memetakan struktur galaksi dari sebaran materi gelap (dark matter). Hasilnya adalah suatu model yang dapat digunakan untuk memprediksi lengkungan cahaya dari tabrakan lubang hitam melalui panjang gelombang yang berbeda.

“Observasi gelombang gravitasi pada dasarnya mendengarkan suara dua objek yang sangat padat ketika mereka bertabrakan. Gelombang ini kemudian terdeteksi oleh detektor yang ada sebagai getaran,” jelas Prof. Ho.

Selain dapat didengar, keberadaan lubang hitam juga dapat dirasakan melalui gerakan bintang di antariksa. Fenomena ini ditunjukkan melalui sebuah bintang yang mengorbit objek tak terlihat di tengah galaksi. Di sisi lain, para ilmuwan sejak lama memprediksi wilayah yang menjadi orbit bintang tersebut sebagai lubang hitam. Sehingga pola orbit yang terbentuk memberikan bukti bahwa Sagitarius A* adalah lubang hitam supermasif di tengah galaksi kita. Fenomena ini juga sekaligus menjadi pembenaran dari teori relativitas umum Einstein yang akhirnya terbukti setelah seratus tahun lamanya.

Seiring teknologi yang terus berkembang, penelitian lubang hitam mencapai suatu titik di mana manusia tidak hanya sekadar dapat mendengar atau merasakan, tetapi juga bisa melihat wujud lubang hitam.

Tantangan utama yang dihadapi para astronom dalam merekonstruksi gambar lubang hitam adalah jauhnya jarak bumi dengan lubang hitam itu sendiri. Dengan metode observasi konvensional, dibutuhkan sebuah teleskop seukuran bumi untuk menangkap gambar lubang hitam. Namun para astronom mengakalinya dengan teknik Very Long Baseline Interferometry (VLBI) yang menggabungkan beberapa teleskop di berbagai belahan bumi. Teleskop-teleskop ini bekerja bersama membentuk citra lubang hitam secara utuh melalui penggabungan gelombang radio yang ditangkap oleh masing-masing teleskop.

Prof. Ho menjelaskan, “Ide utama dari VLBI adalah merekayasa teleskop seukuran bumi untuk menangkap gambar utuh layaknya rangkaian cermin. Agar dapat melakukan hal ini, perhitungannya harus benar-benar presisi.”

Dalam kolokium tersebut Prof. Ho juga mengingatkan bahwa ilmu astronomi yang berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir turut menstimulasi negara-negara Asia, terutama yang berada di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk ikut serta dalam penelitian astronomi skala internasional. Apalagi dengan besarnya potensi sumber daya manusia dan Gross Domestic Product (GDP) yang dimiliki negara-negara ini, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menjadi perintis penelitian-penelitian astronomi baru.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)


scan for download