Green Design, Jembatan Antara Fashion dan Lingkungan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Dr. Tyar Ratuannisa dari KK Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB berbagi ilmu tentang desain produk green. Hal itu ia sampaikan dalam acara kuliah tamu PP4204 Green Marketing, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Senin (21/3/2022).

Dr. Tyar menjelaskan bahwa awal mula pengangkatan isu mengenai lingkungan justru pertama kali dilakukan dengan pendekatan puitis, melalui buku Silent Spring oleh Rachel Carson, salah seorang ahli biologi kelautan. Buku tersebut menjadi salah satu pengingat sekaligus pencatat dampak negatif DDT dan pestisida lain.

Milestone selanjutnya dicatat pada tahun 1985, yakni ketika lubang lapisan ozon di stratosfer Antartika pertama kali teramati. Sedangkan baru-baru ini, tepatnya pada 2019, aktivis muda Greta Thunberg mengemukakan aspirasi terkait pemerintah dan pihak lainnya yang kurang peduli terhadap perubahan iklim.

Fast Fashion dan Kendalanya

Menurut Tyar, salah satu penyebab dari pencemaran lingkungan berasal dari fashion itu sendiri. Kendala terbesar dari siklus hidup fashion adalah geraknya yang terlampau cepat dan menyebabkan harga pakaian turun. Fast fashion sendiri dapat diartikan sebagai fashion yang trennya bergerak cepat, harga terjangkau karena biaya pembuatan rendah, pengiriman cepat, tersedia di mana-mana, namun tidak memiliki nilai yang istimewa.

Tren ini bagai dua mata pisau bagi lingkungan, bisa membawa dampak negatif karena semakin banyaknya pakaian yang dibeli untuk mengikuti tren, atau bisa juga membawa dampak positif karena dapat dijadikan salah satu media green marketing. “Contohnya adalah dengan membawa konsep re-wear dan thrifting sehingga limbah produksi tekstil dapat diminimalisir.”

Rekomendasi Green Design

Solusi dan kontribusi yang dapat diberikan, paparnya, adalah dengan ‘membelokkan’ tren dan preferensi yang tengah terjadi. “Gagasan good design yang dapat menjadi salah satu solusi sudah dicanangkan oleh Dieter Rams,” ujarnya.

Desain yang baik adalah desain yang inovatif, desain yang membuat produk berguna, estetis, dapat dipahami, jujur, tidak mencolok ataupun berlebihan, awet, konsisten dan teliti pada tiap detailnya, ramah lingkungan, serta menunjukkan upaya desain yang minimal.

Satu hal yang krusial menurut dosen dari FSRD ITB tersebut dalam memberikan rekomendasi green design adalah dengan mengetahui siklus produk dalam fashion. Siklus ini menyediakan tolak ukur kuantitatif untuk menilai dampak lingkungan dari suatu bahan atau produk. “Dengan diketahuinya siklus produk fashion, maka desainer dapat mempertimbangkan setiap tahap dalam proses fashion tersebut, termasuk hingga tahap pembongkaran kembali untuk didaur ulang seratnya.”

Konsep selanjutnya adalah dengan menggunakan buzz marketing, yakni menjadikan influencer sebagai bagian dari pola pemasaran mulut ke mulut yang dinilai lebih berkelanjutan dan hijau. Gaya dan pernyataan yang disukai oleh pengikut influencer ini akan diadopsi dan diunggah ulang oleh pengikut, sehingga informasi akan tersebar luas dalam waktu cepat.

Sebagai ringkasan, perlu diadakan edukasi untuk mendorong kebiasaan sustainable melalui strategi pemasaran. Pabrik juga dapat sedikit demi sedikit melakukan dematerialisasi yang etis secara sosial, salah satunya dengan menggunakan eco-material. “Namun hal paling mudah yang saat ini dapat kita lakukan secara individu adalah dengan lebih peduli jejak karbon dan jejak ekologis, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” tutupnya.

Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)


scan for download