Webinar Pusat AI-ITB: Peran In Silico untuk Mendeteki Mutasi SARS-CoV-2

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

in silico

*Tangkapan layar Webinar Pusat Artificial Intelligence ITB Jilid 4 di kanal YouTube.

BANDUNG, itb.ac.id - Penemuan obat pada penyakit baru bagaikan mencari jarum dalam jerami. Pernyataan itu disampaikan oleh Dr. Sophi Damayanti, Dosen Sekolah Farmasi ITB pada Webinar Pusat Artificial Intelligence ITB Jilid 4. Webinar ini dilaksanakan pada Kamis, 11 Juni 2020 pukul 13:00-15:00 WIB via Zoom dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube. Kali ini, webinar diisi oleh Dr. Sophi Damayanti dan Dr. Anita Antarini dari SF-ITB yang membahas perkembangan studi dalam dunia farmasi.
Dr. Sophi menjelaskan, bahwa sejarah perkembangan obat dapat ditarik ke abad 19. Saat itu, Alexander Fleming menemukan antibakteri dan Paul Erhlich menemukan metode kemoterapi untuk para penyintas kanker. Kemudian berlanjut ke abad 20 yang menjadi era baru dalam perkembangan obat. Pada abad ini,  Kemajuan teknologi memungkinkan peneliti untuk mengetahui struktur kimia obat serta dapat melakukan pemodelan di bidang molekuler. Dasar pengembangan obat baru dapat dilakukan dengan cara memodifikasi struktur kimia zat yang telah ada. “Salah satu contohnya adalah modifikasi struktur kimia morfin yang dapat menjadi kodein atau obat batuk,” tutur Dr. Sophi.

Pada bidang farmasi, in silico adalah teknologi komputasi yang berguna pada modifikasi obat, protein, dan lain-lain. Menurut Dr. Sophi, metode komputasi atau computer aided drug design dalam perkembangan obat akan menghemat biaya dan waktu karena dapat memprediksi struktur obat melalui persamaan matematika, visualisasi dalam bentuk tiga dimensi, serta dapat mengevaluasi interaksi antara senyawa dengan target sebelum menyintesis struktur tersebut menjadi obat.

“Tak hanya struktur, tetapi juga perlu dipertimbangkan aktivitas molekul tersebut. Semakin tinggi aktivitasnya, maka obat yang akan dibuat juga semakin baik. Selain itu terdapat beberapa parameter yang memengaruhi besaran aktivitas molekul, yaitu berat molekul, kelarutan, tegangan permukaan, dan lain-lain,” jelas Sophi Dr. Sophi. 

Melanjutkan presentasi, Dr. Anita menjelaskan mengenai prediksi efek mutasi dengan studi in silico. Dr.  Anita menuturkan bahwa dalam tubuh manusia terdapat DNA. DNA dapat memproduksi protein alami yang membantu kehidupan manusia. “Contohnya adalah kolagen yang berguna untuk kulit serta insulin,” tambahnya. 

Dr. Anita mengungkapkan bahwa protein dapat memiliki fungsi sebagai enzim, protein transpor (haemoglobin), dan lain-lain. Kerap kali protein mengalami mutasi karena mengalami perubahan materi genetik. Hasil mutasi tersebut kemudian disebut dengan mutan. Penyebab mutasi dikarenakan oleh kesalahan baca saat replikasi DNA atau faktor eksternal seperti radiasi dan infeksi. Mutasi tersebut dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu contohnya adalah hemofilia atau sickle-cell anemia. 

Studi In Silico untuk Deteksi Mutasi Virus

Saat ini, pandemi COVID-19 tengah terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Studi in silico dapat memprediksi efek mutasi dalam pendeteksian SARS-CoV-2 di Indonesia. Dari hasil penelitiannya, Dr. Anita menuturkan bahwa pengujian realtime-PCR dengan US-CDC protocol masih relevan untuk mendeteksi mutasi SARS-CoV-2 di Indonesia. “Dengan menggunakan software, kita dapat menganalis relevansi realtime-PCR untuk memprediksi mutasi virus yang ada di Indonesia,” ungkapnya.

*Tangkapan layar Webinar Pusat Artificial Intelligence ITB Jilid 4 di kanal YouTube.

Tak hanya itu, Dr. Anita menuturkan bahwa mutasi kadang disengaja untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk membuat vaksin. “Dengan melakukan rekayasa protein dan pelemahan patogen, maka kita dapat membuat vaksin dari suatu penyakit. Metode in silico dapat membantu supaya mutasi dapat dilakukan secara terarah,” jelasnya.

Salah satu contoh pengembangan studi in silico dalam mutasi adalah pada insulin. Insulin kerap disuntikkan kepada penderita diabetes untuk menjaga kadarnya dalam level normal pada darah. “Kemampuan studi in silico dapat memodifikasi struktur insulin sehingga ketahanan insulin terhadap waktu lebih lama. Hal tersebut membuat suntik insulin tak perlu dilakukan berkali-kali dalam satu waktu,” jelasnya.

*Webinar mengenai studi in silico oleh Pusat Artificial Intelligence  Intelligence ITB dapat disaksikan pada kanal YouTube Pusat Artificial Intelligence Intelligence ITB dengan judul: ITB Center for AI Webinar Series #4 pada link: https://www.youtube.com/watch?v=Arv-MNJQYVE

Reporter: Billy Akbar Prabowo (Teknik Metalurgi, 2016)

scan for download