BIOS, Startup ITB yang Bergerak dalam Pengolahan Limbah Menggunakan Lalat Tentara Hitam

Oleh Adi Permana

Editor -

*Foto: Dok. Pribadi


BANDUNG, itb.ac.id – Sampah masih menjadi persoalan serius yang harus diselesaikan, terutama dari sisi pengolahannya. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kehutanan (KLHK) pada 2019 ini, 60 persen produksi limbah di Indonesia adalah didominasi sampah organik baik itu yang berasal dari sampah rumah tangga, dari pasar, ataupun pertanian.

Berangkat dari masalah tersebut, menggerakkan mahasiswa dan dosen ITB membuat sebuah startup Biorefinery Society (BIOS) yang bergerak dalam pengolahan sampah organik. BIOS adalah sebuah techno-sosial startup yang memiliki visi untuk menciptakan biorefinery di setiap sudut dunia. Visi tersebut disokong oleh misi membangun jaringan untuk mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna yang berbasis pangkalan data dan socio-preneurship.

Menariknya, dalam pengolahan sampah tersebut, BIOS memanfaatkan lalat tentara hitam atau black solder flies (BSF). Larva lalat tentara hitam sendiri merupakan tipe lalat yang berukuran lebih besar dari lalat biasa dan terkenal akan kemampuannya untuk mengonsumsi dan mengurangi sampah organik.

Dijelaskan Bagoes Muhammad Inderaja selaku Co-founder dan CEO dari startup tersebut, saat ini BIOS fokus untuk mengembangkan konsep biorefinery melalui pemanfaatan larva lalat tentara hitam (Black Soldier Fly Larvae) yang kaya protein untuk dijadikan pakan hewan premium. Pakan premium yang dikembangkan oleh BIOS memiliki nama Magic Pet Feed.

"Bedanya apa dengan pengolahan sampah yang konvensional seperti biodigester, atau komposter, kalau biodigester dan komposter biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dalam waktu 6 minggu sampai 2 bulan baru bisa diolah limbahnya. Tapi kalau pakai BSF, pengolahan limbahnya bisa lebih cepat,hingga 2-3 kali lipatnya” ujarnya.


*Foto: Dok. Pribadi

Startup yang beranggotakan Dr. Muhammad Yusuf Abduh, Bagoes Muhammad Inderaja, Nurhayati Br Tarigan, Firdanta Ginting dan Asri Ifani Rahmawati ini telah memiliki dua produk unggulan. Pertama pupuk untuk tanaman, dan kedua larva kering yang mengandung protein tinggi.

Dijelaskan Bagoes, BIOS bahkan telah berhasil melakukan pengolah limbah hampir 150 kilogram selama 6 bulan terhitung sejak Februari 2019. Dari pengolahan tersebut, sudah dihasilkan pula larva kaya protein berbasis BSF dengan label Magic serta pupuk organik. "Protein larvanya sangat tinggi sangat cocok untuk ikan hias dan peliharaan seperti kura-kura, sugar glider, gecko dll.” jelasnya. Ia menambahkan, selain limbah rumah tangga, dan pasar, mereka juga fokus dalam pengolahan limbah roti.

Sementara itu, terkait produk pupuk dihasilkan oleh BIOS, dikatakan Bagoes, juga sudah masuk dalam standar SNI namun belum keluar sertifikasinya. Produk tersebut belum masuk pasar karena BIOS sedang berusaha untuk terus melakukan pengembangan. "Pupuk yang dibuat oleh kita beda dengan pupuk lainnya, pertama lebih seragam ukurannya, dan juga lebih halus dengan warna coklat," ujarnya. Proses pembuatan pupuk tersebut berasal dari proses biokonversi lewat larva BSF yang memakan limbah roti.

Motivasi Mendirikan BIOS

Kepada Reporter Humas ITB, Bagoes menceritakan, inspirasi mereka dalam mendirikan startup adalah untuk menjadi sosial entrepreneurship. Dia melihat banyak hasil riset dosen yang tidak masuk pasar, khususnya di bidang teknologi hayati atau biorefinery. Selain itu, motivasi lainnya ialah menciptakan lapangan pekerjaan.

“Visinya kami ingin membawa teknologi biorefinery ini ke masyarakat. Selama 2 tahun, kita mencoba melihat masalah yang terjadi di masyarakat, kita lakukan desiminasi di beberapa daerah yaitu di Bangka, Sumatera Selatan, Musi Rawas, dan daerah lain.” ujarnya. 

Dari hasil desiminasi tersebut, salah satu kesimpulan yang mereka dapat ternyata sumber protein banyak dibutuhkan saat ini, misalnya untuk pakan ikan, hewan, dan juga Indonesia punya banyak sekali limbah-limbah organik yang bisa diolah. "Kami waktu itu terinspirasi kenapa kita tidak gunakan hasil riset untuk mengatasi masalah limbah dan pakan protein, dan kebetulan ada teknologi biorefinery sebagai solusi," tambahnya.

Lebih lanjut, Bagoes menjelaskan, motivasi lainnya yaitu ingin mentransformasikan pengolahan limbah yang tadinya harus ada lahan luas, padahal dengan lahan yang 3x3 meter saja tetap bisa dilakukan dan akan efektif dengan menggunakan BIOS. “Saat ini kita punya tempat ukuran 3x3, isinya rak-rak di situ BSF makan limbah bergulir setiap hari,” katanya.

*Foto: Dok. Pribadi

Dia mengatakan, BSF pun bisa digunakan di rumah tangga. Saat ini BIOS sedang mengembangkan sarang atau media hidup BSF yang ingin sejalan dengan industri 4.0. “Sekarang sedang kita sudah kerjasama dengan peneliti di ITB lain, karena ini akan menjadi multidisiplin penelitiannya, yaitu bagaimana nantinya sarang BSF bisa digunakan di rumah-rumah warga. Kita ingin ada pengolahan limbah berbasis komunitas. Itu mimpi besar kita,” ucapnya.

Ihwal tantangan dalam menjalankan startup tersebut, disampaikan Bagoes ialah dalam mengedukasi masyarakat. Sebab masih banyak yang belum tahu apa itu BSF dan apa bedanya dengan larva biasa. “Kita punya tanggungjawab untuk memberikan edukasi kepada mereka. Bedanya, larva dari BSF ini adalah saat jadi lalat tidak makan lagi, tapi kawin, bertelur, lalu mati. Jadi BSF ini lalat bersih, beda dengan lalat-lalat biasa,” ujarnya.

Kedepannya, BIOS memiliki target yakni peningkatan kapasitas produksi larva dan penyerapan limbah. Selain itu, startup yang telah berjalan 1,5 tahun ini akan fokus kepada komersialisasi dan juga pengembangan bisnis model, baik itu pengolahan limbah, penjualan larva, penjualan produk, dan bidang edukasi.

scan for download