Memahami Cuaca di Antariksa dan Dampaknya pada Kehidupan di Bumi

Oleh Adi Permana

Editor -

(Foto: Ilustrasi dari Nasa)

BANDUNG, itb.ac.id - Seri Kuliah Umum Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA-ITB) kembali diselenggarakan dengan tema yang diangkat "Tantangan Sains untuk Masa Depan" pada Sabtu (9/3/2019) di Auditorium CC Timur ITB, Kampus Ganesha. Salah satu topik yang menarik dalam seri kuliah umum ini ialah mengungkap dan memahami cuaca di antariksa.?

Seiring kemajuan teknologi dan rasa penasaran manusia yang amat tinggi, penelitian dan diseminasi mengenai dampak iklim dan cuaca di antariksa  perlu lebih banyak dilakukan. Alasan inilah yang membangkitkan semangat Dr. Dhani Herdiwijaya, M. Sc dalam menyampaikan kuliahnya di seri kuliah ini dengan judul "Cuaca Antariksa dan Dampaknya terhadap Teknologi dan Kesehatan".

Menurut Dr. Dhani, sejarah mencatat pernah terjadi peristiwa besar yang sangat merugikan ketika badai matahari terjadi di antariksa. "Ini terjadi di Inggris pada abad 18, listrik dan telekomunikasi terputus, saat itu mereka masih bingung penyebabnya, tetapi akhirnya sadar bahwa sebabnya bukan berasal dari bumi melainkan di luar bumi, yaitu badai matahari," katanya. Peristiwa tersebut memiliki dampak luas dalam teknologi dan ekonomi. Hal itulah yang mengawali keseriusan manusia dalam memahami cuaca di antariksa.

Pada masa kini, riset, penjelajahan, serta pengembangan yang berhubungan dengan penelitian cuaca antariksa semakin gencar dilaksanakan. Sebab cuaca antariksa juga akan banyak berdampak pada kesehatan manusia sebagai penduduk bumi. "Hal ini bisa terjadi ketika ada hujan sinar kosmik, hujan ini akan menghasilkan berbagai partikel dengan persebaran energi yang variatif pula," jelasnya. Akibatnya cukup fatal, walau tidak cepat terasanya. Partikel pembawa energi yang sangat tinggi tidak akan bisa ditahan oleh atmosfer bumi, ketika sampai di permukaan partikel memicu pembentukan awan, bahkan bisa sampai memengaruhi genetik makhluk hidup di antariksa.

Cuaca antariksa juga banyak berpengaruh kepada transportasi orang banyak. Ini dikarenakan sistem navigasi dan komunikasi transportasi era modern yang sangat bergantung pada satelit di angkasa. "Kita bisa lihat pesawat terbang, terutama di daerah dengan nilai lintang yang besar akan sangat terganggu navigasinya, bukan hanya soal satelit, melainkan adanya gangguan kemagnetan juga paparan radiasi di daerah kutub," tambah Dhani. Oleh karena itu, negara-negara yang paling gencar dalam menyingkap rahasia cuaca antariksa masih terbatas pada mereka yang wilayahnya berada di lintang tinggi atau kutub.

Menurut Dhani, Indonesia, walau berada di titik khatulistiwa yang relatif aman, juga harus mulai gencar untuk menggali ilmu tentang cuaca antariksa. “Hari ini Indonesia bisa punya banyak satelit telekomunikasi, tetapi data satelit kita sendiri, tidak bisa kita akses karena terhambat izin dari negara-negara produsen satelit yang kita pakai,” ungkapnya. Ini jelas menjadi pertanda bahwa di masa depan pengetahuan tentang antariksa akan menjadi ‘senjata’ baru. Dhani mengharapkan Indonesia nantinya bisa berdaulat dalam pengetahuan akan antariksa dan pengembangan serta penelitiannya. “Perlu diingat, Indonesia juga punya lapisan ionosfer yang kompleks, pasti suatu saat pengetahuan dan pengukurannya akan jadi rebutan orang,” tutupnya.

Reporter: Ferio Brahmana (Teknik Fisika 2017)


scan for download