Pelajaran dari Gempa Palu, Perlu Ditingkatkan Sosialisasi Standar Bangunan Tahan Gempa

Oleh Adi Permana

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id -- Gempa bumi yang terjadi di Palu dan Lombok beberapa waktu lalu, telah menyebabkan bangunan rusak baik rusak skala ringan, sedang, maupun berat. Banyaknya kerusakan tersebut salah satunya disebabkan karena tidak mengikuti kaidah bangunan tahan gempa.



Standar bangunan tahan gempa sendiri sebetulnya sudah diatur oleh pemerintah melalui Kementerian PUPR. Namun di lapangan, banyak bangunan kurang memenuhi standar yang ditentukan. Misalnya dinding dari bata yang seharusnya dilengkapi dengan kolom-kolom pengikat, agar bisa menjaga dinding tak roboh meskipun terkena guncangan.

Hal tersebut disampaikan Prof. Iswandi Imran, Ph.D dalam acara Diskusi Terbuka Pembelajaran Gempa Lombok dan Gempa Palu untuk Mitigasi Bahaya Kegempaan dan Tsunami di Jawa Bagian Barat yang digelar di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha no 10 Bandung, Selasa (23/10/2018). Ia menyampaikan materi berdasarkan hasil survei lapangan kerusakan bangunan setelah gempa di Palu dan Lombok.

Prof. Iswandi menyampaikan, setelah gempa di Palu banyak ditemukan rumah rusak termasuk hotel-hotel yang roboh lantai dasarnya. Hal itu mengindikasikan kekuatan dinding atau beton penyangga di lantai dasar kurang kuat, misalnya itu terjadi Hotel Mercure dan Hotel Roa-roa. Namun beberapa bangunan lain seperti Mall masih utuh dan berdiri kokoh karena mengikuti standar yang berlaku. "Berbagai runtuhan yang diamati yang paling banyak ditemukan, permasalahan  bangunan adalah aspek detailing," ujarnya sambil menampilkan foto contoh kerusakan.


*Salah satu hotel di Palu yang rusak akibat gempa. (Foto: Dok. Humas ITB)

Guru Besar di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB itu, memaparkan, banyak ditemukan pula, bangunan dengan inti betonnya hancur karena tulangannya kurang, terjadi penyatuan tangga dalam sebuah bangunan, kerusakan elemen non-struktural seperti rangka atap baja ringan kurang ditopang sistem penguat sehingga mudah bengkok, dan banyak temuan lainnya.

Dari hasil temuan tersebut, kesimpulan yang diambil Prof. Iswandi antara lain penyebab banyaknya kerusakan bangunan setelah gempa terjadi karena inkonsistensi desain khususnya terkait ketentuan detailing, inkonsistensi kontruksi khususnya terkait bahan dan kualitas, dan penyatuan elemen-elemen non-struktural yang kaku, serta kurangnya perawatan.

Kedepannya, ia berharap kejadian tersebut dapat jadi pelajaran untuk menghadapi bencana serupa. Menurutnya kejadian gempa tersebut harus dijadikan acuan dalam rekonstruksi di Palu, mengingat tingkat kegempaan di Palu tinggi, perlu ada program retrofitting untuk bangunan-bangunan yang bertahan tapi terindikasi rawan terhadap gempa. "Perlu lebih ditingkatkan lagi sosialisasi standar bangunan tahan gempa untuk wilayah Palu," ujarnya.


scan for download