Meningkatkan Cadangan Batubara Indonesia Melalui Pendekatan Petrologi dan Geokimia Organik

Oleh Adi Permana

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id -- Indonesia merupakan negara pengekspor batu bara terbesar di dunia. Pada tahun 2017, produksi batubara di Indonesia mencapai 461 juta ton. Sebesar 78,95% dari total produksi tersebut ditujukan untuk ekspor. Sisanya sebesar 20,05% digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti untuk keperluan bahan bakar pada industri PLTU, semen, industri baja dan lain sebagainya.



Distribusi cekungan batubara yang ekonomis untuk ditambang tersebar melimpah di banyak pulau di Indonesia. Meski demikian, proses konversi sumber daya batubara menjadi cadangan masih belum maksimal dilaksanakan. Berdasarkan data 2017 saja, dari total 123.530 juta ton sumber daya batubara, hanya 28.457 juta ton yang berhasil dikonversi menjadi cadangan.

Rasio cadangan terhadap sumber daya hanya sekitar 23%. Melihat rasio yang masih kecil ini, maka kegiatan eksplorasi seyogianya harus diintensifkan. Keahlian tambang eksplorasi harus menjadi perhatian khusus pelaku industri guna mengoptimalkan produksi batubara Indonesia. Hal inilah yang mendasari Prof.Dr.Ir. Komang Anggayana MS, Guru Besar dari kelompok keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB melakukan banyak research di bidang petrologi dan geokimia. 

Kumpulan dari research yang telah dilakukannya tersebut disampaikan pada acara Orasi Ilmiah Guru Besar ITB dengan judul “Petrologi dan Geokimia Organik untuk Meningkatkan Sumberdaya/Cadangan Batubara dan Batuan Kaya Bahan Organik Lainnya” pada Sabtu (29/9/2018) di Aula Barat ITB, Jalan Ganesha no 10, Bandung.

Aspek penting penentu kualitas batubara tak hanya dapat dilihat secara makroskopis. Aspek  mikroskopis menjadi krusial untuk ditinjau juga. Sifat mikroskopis akan menentukan karakter batubara karena merupakan representasi tumbuhan maupun bagian tumbuhan pembentuk batubara di masa lampau. Implikasinya yaitu sifat kimia, fisika serta perencanaan pemanfaatan batubara akan ditentukan dari data mikroskopis tersebut. Dengan demikian, kontribusi keilmuan petrologi dan geokimia organik menjadi sangat penting.

“Pemanfaatan batubara sampai saat ini hanya sebatas sebagai bahan bakar di mana faktor nilai kalori menjadi sangat utama. Namun bila dilihat kedepannya kita ingin memanfaatkan batubara untuk keperluan lain maka panguasaan ilmu karakter batubara akan sangat fundamental,” jelas Prof. Komang. 

Penelitian yang dilakukan pada Tambang Terbuka dan Tambang Dalam Embalut Cekungan Kutai, Delta Mahakam, Kalimantan Timur memberikan hasil analisis gas chromatoghraphy – mass spectrometry (CG-MS) yang menunjukkan hidrokarbon fraksi aromatik didominasi oleh kehadiran cadalene pada boiling point yang rendah dan picene pada boiling point yang tinggi. Cadalene menunjukkan adanya kontribusi dari tanaman Dipterocarpaceae, sedangkan picene menunjukkan adanya kontribusi dari angiospermae. Analisis historis yang dilakukan lebih lanjut menunjukkan bahwa rasio konsentrasi dari di-/(di- + triterpenoids) dalam ekstrak batubara miosen tengah dan awal lebih tinggi dari yang diperoleh pada miosen akhir. Hal ini menjadi penting diketahui karena vegetasi dan waktu pembentukan batubara yang berbeda akan menghasilkan batubara dengan karakteristik (tipe, kualitas, dan peringkat) yang berbeda pula. 

Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dan analisis gerakan geokimia didapatkan bahwa batubara Cekungan Kutai memiliki kandungan abu, mineral, sulfat, dan pirit yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan aktivitas volkanik masa Tersier yang tertransportasikan ke dalam rawa sesudah pengendapan gambut. Rekonstruksi lingkungan pengendapan berdasarkan komposisi maseral telah dilakukan oleh Profesor Komang. Karenanya, pemetaan karakteristik batu bara pun berhasil dilakukan.

Tak hanya batubara, Prof. Komang juga banyak melakukan pelitian serupa untuk oil shale. Oil shale merupakan sisa tumbuhan (umumnya ganggang dan spora) yang terendapkan pada lingkungan yang lebih tereduksi, kolom air yang lebih tebal, serta banyak bercampur dengan mineral lain/sedimen lempung sehingga kandungan organik sedimen lempung menjadi ekonomis (5% sebagai batas bawah). Pengaruh perubahan iklim terhadap fasies pengendapan oil shale yang kaya akan bahan organik juga telah dibuat ilustrasi perkembangannya. Hal ini akan mempermudah penentuan target eksplorasi gas. 

Untuk mendukung konservasi sudah tentu sangat dibutuhkan data dari kegiatan eksplorasi. Data dari kegiatan eksplorasi akan menjadi dasar perencanaan tambang. Perencanaan tambang yang baik akan berujung pada konservasi. Oleh karena itu penguasaan ilmu petrologi dan geokimia organik menjadi sangat vital.

“Nantinya kita juga harus ikut berperan dalam diversifikasi pemanfaatan batubara dan selajutnya juga berperan dalam meningkatkan nilai tambah batubara dan sumber energi turunan batu bara seperti CBM, oil shale, dan gas shale karena semua ini punya genesa yang sejalan,” tambah Prof. Komang.

Reporter: Karimatukhoirin


scan for download