Tim Peneliti ITB Kembangkan Penelitian tentang Quantum Dots

Oleh Fivien Nur Savitri, ST, MT

Editor -


BANDUNG, itb.ac.id -- Tim peneliti dari Kelompok Keahlian Material Elektronik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB, melakukan penelitian tentang pengembangan aplikasi material maju koloidal Quantum Dots (QDs). Dari penelitian tentang QDs ini, diharapkan dapat menghasilkan manfaat dan diaplikasikan ke dalam berbagai bidang.

QDs merupakan salah satu material maju semikonduktor yang berukuran kisaran nanometer. Material QDs menarik perhatian karena sifat elektronik dan optik yang sangat bergantung pada ukurannya sehingga dapat diatur. Hal ini berkaitan dengan efek kurungan kuantum yang terjadi ketika ukuran QDs berada pada orde nanometer (umumnya kurang dari 10 nm). Oleh karena itu, material QDs ini sangat berpotensi untuk diaplikasikan di berbagai bidang seperti perangkat optoelektronik, sensor, fotokatalis, dan juga bidang biomedis.

Dr. Ferry Iskandar sebagai peneliti utama dalam penelitian tersebut menjelaskan, pada material QDs ini muncul fenomena fisika yang disebut efek kurangan kuantum. Biasanya ukurannya sangat kecil yakni skala nanometer. Oleh karena ukurannya yang kecil itulah maka material ini disebut quantum dots. Kemudian disebabkan ukurannya kecil juga maka sifat kuantumnya pun bisa keluar.

Adapun sifat dari material QDs itu sendiri yakni bisa muncul pendaran atau emisi cahaya apabila disinari oleh sinar Ultra Violet (UV). Salah satu contoh dalam peristiwa ini ialah pada alat pengecekan uang palsu melalui sinar UV. Pendaran dari material QDs ini bisa berbeda-beda tergantung pada ukuran. Pendarannya bisa berwarna hijau, merah, biru bergantung ukurannya. "Quantum dots ketika efek kurungan kuantumnya muncul, materialnya sama, tapi ukurannya kalau kita bisa atur dia akan mengeluarkan pendaran yang berbeda-beda," kata Ferry di Kampus ITB, Jalan Ganesa belum lama ini.

Secara umum, metode pembentukan QDs terbagi menjadi dua jenis yaitu pendekatan bottom-up dan top-down. Pendekatan bottom-up merupakan proses pembentukan QDs dari skala atom melalui metode sputtering, chemical vapour deposition, dan lain-lain. Sementara itu pendekatan top-down merupakan proses pembentukan QDs berasal dari molekul yang lebih besar yang selanjutnya mengalami pemotongan, pemisahan menjadi QDs yang berukuran nanometer.

"Jadi intinya kita bukan bikin alat ya, tapi kita mengembangkan material ukuran nano, material ini nantinya akan dikarakterisasi dan dipelajari sifatnya, lalu akan diaplikasikan lebih jauh lagi untuk membuat devais elektronik atau aplikasi bidang lainnya," katanya.

Pengembangan penelitian tersebut juga bekerjasama dengan Universitas Hirosima, Jepang dalam hal karbon dots (CDs) atau graphene quantum dot (GQDs). Graphene merupakan satu lapisan karbon yang terdapat dalam grafit.  Kedepannya, GQDs ini bisa digunakan sebagai bioimaging atau biolabeling yang salah satunya  dapat berguna untuk melihat sel-sel yang bermasalah dalam tubuh yang ingin diketahui.

"Salah satu fungsinya itu bisa mendeteksi adanya kanker. Kenapa kita pake karbon dots, karena karbon itu tidak punya efek yang buruk bagi tubuh manusia. Misalnya seseorang punya sel kanker, kita punya material karbon dots lalu kita kasih protein tertentu yang hanya bisa menempel di tempat kankernya. Jadi ketika kita teteskan, akan ketahuan di mana letak kankernya itu setelah disinari UV, akan terlihat karena berpendar keluar warna," ungkap Dr. Ferry Iskandar yang belum lama ini menerima Penghargaan Bakrie Award. 

Penelitian mengenai qunatum dots ini sudah dirintis sejak 2012, lalu pada 2014 mulai publikasi ilmiah, dan terus dikembangkan hingga sekarang. Penelitian tentang ini sudah memiliki hak paten dan publikasinya sudah ada di scientific reports. Selain dengan Hirosima, kerjasama juga dilakukan dengan lembaga penelitian di Jepang, Riken, dalam mengerjakan quantum dot yang aplikasinya untuk transistor, optoelektronik dan elektronik device.

Reporter : Adi Permana

scan for download