John Martono, Seniman di Balik Warna-warni Mural Kota Bandung

Oleh Ahmad Fadil

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id -- Melukis seolah sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam diri John Martono, dosen Seni Tekstil, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini. Lewat tangan diginnya, sudah banyak karya lukis dihasilkan. Termasuk mural-mural yang menambah warna-warni Kota Bandung.

Pria kelahiran Malang 31 Maret 1972 itu ternyata sudah menunjukkan bakatnya sejak muda. Sejak SMA, John Martono sudah melakukan banyak pameran seni lukisan kanvas di beberapa kota di Indonesia seperti Malang, Surabaya, Bandung hingga Jakarta. John juga aktif menjadi pengajar gambar untuk anak-anak di Jakarta dan menjadi seniman termuda di Pertemuan Pengajar Seni Jakarta-Bandung.

John Martono adalah seniman pertama di Indonesia yang menjadikan kain sutra sebagai media lukis. Kurang lebih 10 tahun ia bereksplorasi dalam lukisan kain sutra. Sejak tahun 2003, John Martono menggunakan kain sutra sebagai media pengganti kanvas untuk kegiatan melukisnya. Melukis di atas kain sutra tentu tak mudah, sebab butuh teknik khusus dalam menggunakan kuas dan cat.

Saat ditemui di studionya, di Jalan Pager Sari, Cibeunying, Cimenyan, Bandung belum lama ini, Jhon menceritakan kisahnya. Selepas SMA, John Masuk di Program Studi Desain Tekstil tahun 1991, ia sempat berpikir untuk tidak kuliah di bidang seni rupa, namun setelah dipikirkan lebih jauh pendidikan tentang seni rupa juga perlu untuk seorang seniman.

Masa kuliah ia isi dengan kesibukan mengeksplorasi seni serat dan berkarya di bidang tapestry. Walaupun desain tekstil berorientasi industri, ia ingin mengolah serat menjadi karya seni. Hasil eksplorasi itulah yang membuat John menemukan inovasi-inovasi baru di bidang serat yang akhirnya membawa dirinya untuk dapat mengikuti pameran internasional pertamanya di Asian Fiber Art Exhibition, Taegu, Korea Selatan pada tahun 1995.

Hasil karya pria yang akrab disapa Captain John ini selalu menyuguhkan inovasi. Sehingga membawa dirinya untuk bisa melakukan pameran di berbagai belahan dunia. Salah satu pameran yang paling berkesan bagi dirinya adalah dapat mengikuti pameran seni serat terbesar di Lodz Polandia “The World Trienalle Fiber Art” pada tahun 2006 yang hanya bisa diikuti sekali seumur hidup.

Pada tahun 2012 akhirnya John martono dapat melaksanakan pameran tunggalnya di Jakarta dengan menampilkan sekitar 100 karya yang merupakan hasil dari 12 tahun ia berkarya. Selain itu ia juga sudah melakukan berbagi macam pameran lainnya di dalam maupun di luar negeri diantaranya di Singapura, Bangkok, London, New York, dan Miami. Adapun Pameran yang terbaru, masih berlangsung di Ladder Art Space, Australia.

“Seni akan terus berkembang, akan terus bisa dieksplorasi, seniman tidak boleh terus berada dalam zona nyamannya,” itulah pemikiran tentang seni.

Mural Fly Over Antapani
Mungkin tak banyak yang tahu sosok di balik seni mural yang menghiasi jalan layang atau fly over Antapani. John Martono adalah satu orang yang terlibat dalam pembuatannya. Selain berkarya untuk pameran, John Martono juga aktif berkarya menghiasi Kota Bandung.

Berawal dari permintaan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk mural di Teras Cikapundung dan mengisi Bandara Husein Sastranegara, John kembali diberi kepercayaan untuk mengisi mural di Jalan Layang Antapani. Bukan John Martono namanya jika tidak bereksperimen, mural tersebut lalu dimodifikasi dengan keramik dan sudah mencuri perhatian masyarakat bahkan sebelum proyek itu selesai.

Selain proyek dari pemerintah, John Martono juga sering mengadakan kegiatan gotong royong bersama warga untuk mempercantik lingkungan sekitar. Salah satunya adalah mural di Stanplat Leuwipanjang setinggi 15 meter. Ia juga menggambar di Pasar Cihapit dan Kosambi. Semua ia lakukan bersama masyarakat, melihat bahwa masyarakat menikmati hasil karya bersama adalah hal terpenting baginya. “semua orang mengisi gambarnya, mewarnai bareng. Mereka punya kenangan masing-maing, senang sekali”.

Berkarya sehari-hari sebagai karya pribadi, John juga melatih para tetangga untuk turut terlibat. Ia menyebutnya sebagai kekaryaan bersama. “Perlu waktu setahunan untuk melatih tetangga untuk dapat berhasil memahami keinginan saya secara gaya rupa,” ujarnya. Beberapa karya pribadinya, ia akui dikerjakan selama bertahun-tahun. “Disini perlunya seniman punya konsep disiplin, berkarya, berolahraga, asupan makanan berkualitas, bangun pagi dan tidak begadang. Ini yang saya lakukan,” katanya.


Sejak masih aktif menjadi mahasiswa, John Martono juga aktif menjadi personil band bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya. Hampir semua genre sudah ia bawakan, dari mulai jazz, rege, dangdut, hingga keroncong. Hingga pada tahun 2010 ia membentuk sebuah band bergenre blues yang dinamakan InstiTutBlues. Walaupun hanya sebagai aktivitas sampingan, InstiTutBlues tetap rutin mengadakan latihan dan tampil di berbagai acara.

John dikenal sebagai pelukis yang gemar menggunakan pola-pola abstrak dalam karyanya. Sejumlah penghargaan telah ditorehkan Captain John. Pada tahun 2017, ia mendapat penghargaan Karya Invovasi Institut Teknologi Bandung atas inovasi dan prestasi yang diberikan untuk Insitut Teknologi Bandung. Sebelumnya, John Martono juga pernah mendapat “The Runner-place Best Performance Award” dalam kegiatan ASEAN Silk Fabric and Fashion Design contest 2010 di Thailand.

Sebagai seorang seniman, John Martono selalu mempunyai rencana kedepan. Ia pun berencana akan membuat 1000 lukisan dan akan dipamerkan. Sebagian rencana tersebut sudah ia kerjakan sejak tahun lalu. Ia pun mengatakan, bahwa tugas seniman adalah selalu berkarya.

“Masih banyak yang belum dilakukan, aku sedang menikmasti rasa penasaran bagaimana membuat lukisan ini (mencapai) 1000. Di dalam plan yang ku buat, aku masih berencana aja dulu, ya kalaupun tidak terlaksana ya tidak apa-apa. Seniman ya harus punya rencana, tugas perupa ya berkarya kemudian mempresentasikan karyanya dalam pameran secara professional. Mempresentasikannya ke dunia,” pungkasnya.

Reporter: Shafire Anjani


scan for download