Prof. Djoko Iskandar: Buka Pintu Keilmuan lewat Penemuan Spesies Katak Baru

Oleh Bayu Rian Ardiyansyah

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Tepat akhir tahun lalu Prof. Djoko Iskandar mempublikasikan sebuah penemuan yang mengejutkan dunia dengan judul "A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles" di jurnal PLOS ONE. Makalah hasil penemuan bersama koleganya, Jimmy A. McGuire dan Ben J. Evans tersebut, mengungkap spesies baru katak bertaring Sulawesi, Limnonectes Larvaepartus, yang merupakan satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong. Namun, ternyata penemuan ini bukanlah satu-satunya karya besar peneliti yang juga merupakan Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Hayati (SITH) ITB ini.

"Saat berusia 28 tahun, saya sudah berhasil menghasilkan penemuan yang sebenarnya lebih besar dari penemuan yang sekarang. Sayangnya, pada waktu itu internet belum ada dan komunitas akademik belum terbentuk di Indonesia, sehingga tidak sampai menimbulkan keramaian seperti sekarang," tutur Prof. Djoko. Pada awal karirnya di tahun 1978, Prof. Djoko menemukan famili katak baru yang memiliki satu lusin anggota dari hasil pencariannya di Kalimantan. Penemuan ini juga berhasil mengungkapkan alur masuknya katak yang kebanyakan persebarannya di Eropa ini ke daerah tropika.

Lalu, Pada tahun 2000 Prof. Djoko menemukan spesies kodok terkecil di dunia yang berukuran 9 milimeter. Delapan tahun kemudian, Prof. Djoko kembali membuat kejutan lain. "Publikasi waktu itu adalah penemuan yang paling ramai karena saya menemukan satu-satunya katak di dunia yang tidak berparu-paru. Bagi akademisi, pertanyaan yang menarik adalah bagaimana efisiensi kulit katak tersebut dalam menyerap oksigen. Jadi sebenarnya yang penting bukan sekedar penemuannya, melainkan konsekuensi-konsekuensi yang dibawanya" tutur Prof. Djoko.

Pionir Herpetolog di Indonesia

Pilihan Prof. Djoko untuk menekuni penelitian di bidang katak sangat tidak populer. Awalnya Prof. Djoko sempat meneliti tentang tikus, namun kendala biaya menyebabkannya mencari objek lain yang murah tapi tetap bisa menghasilkan penemuan yang banyak dan berdampak. Akhirnya, herpetolog menjadi bidang yang dipilihnya. "Ternyata katak merupakan kelompok hewan yang paling baik untuk menjadi alat pengukur kerusakan lingkungan karena jumlah individunya yang banyak dan identifikasinya yang praktis. Terlebih lagi biaya penelitiannya murah karena wilayahnya ada di belakang halaman kita sendiri," tutur Prof. Djoko.

Prof. Djoko merupakan peneliti yang produktif dengan sederet prestasi. Hingga saat ini sudah ada sekitar 100 publikasi yang telah dihasilkannya, baik internasional maupun nasional. Sebagian besar penelitian tersebut merupakan kolaborasi dengan peneliti asing dari negara lain. Melihat kesulitan dalam meneliti di wilayah hutan sering menjadi kendala bagi peneliti lain, Prof. Djoko juga telah menuliskan berbagai buku yang banyak dijadikan pegangan dalam penelitian spesies di alam liar.

Dari segi penemuan spesies baru, Prof. Djoko menuturkan bahwa sebenarnya ada lebih dari 150 spesies yang telah ditemukannya, namun hanya sekitar 30 spesies saja yang telah dipublikasikan. Hal ini dikarenakan jumlah individu yang ditemukan tidak memenuhi secara akademis, sehingga perlu waktu lama untuk menjadi sebuah publikasi ilmiah. Bahkan, spesies katak dalam publikasi terbarunya sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1989. Selain itu, Prof. Djoko juga telah mendapatkan berbagai penghargaan dan pengakuan, mulai dari penamaan beberapa spesies menggunakan namanya hingga penghargaan Habibie Award pada 2005 dan Ganesha Cendekia Widya Adi Utama pada 2011.

Pintu Pengembangan Keilmuan ke Depan

Bagi Prof. Djoko, berbagai penemuan yang telah dihasilkannya hanya merupakan pembuka pintu bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depan. Pengembangan lanjutan terhadap penemuannya tergantung dari komunitas keilmuan lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Contohnya pada penemuan terbarunya tentang katak yang melahirkan kecebong , maka yang menarik adalah mempelajari proses fertilisasinya karena spesies tersebut melakukan pembuahan di dalam tapi tidak memiliki kelamin sekunder.

"Sebenarnya bukan penemuan itu yang penting, tapi bagaimana orang mau mengaplikasikan dan mengartikannya dari segi keilmuan yang lain. Saya ibarat membuka pintu agar orang lain bisa meneliti lebih dalam. Sekarang pintu telah dibuka, kalau orang Indonesia tidak tanggap maka orang asing yang akan menangkap peluang tersebut," tutup Prof. Djoko.

sumber foto: Zootaxa/PLOSONE/KOMPAS


scan for download