Andreanus Soemardji: Kaitkan Peran Pendidikan untuk Jalankan BPJS

Oleh Hafshah Najma Ashrawi

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Awal tahun 2014 ini, pemerintah Indonesia mulai menerapkan Program Jaminan Kesehatan Nasional, sebuah amanat UUD 1945 yang didasari dari tujuan melindungi masyarakat dan memajukan kesejahteraan umum. Setelah sebelumnya disahkan melalui UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, mulai 1 Januari 2014 ini BPJS Kesehatan mulai dilakukan sedangkan BPJS Ketenagakerjaan direncanakan akan mulai diberlakukan pada 2015 mendatang. Pendapat, kritik, dan dukungan sampai hari ini terus dilontarkan menanggapi keberjalanan kebijakan jaminan kesehatan yang kini dikelola oleh badan hukum publik ini, tidak terkecuali pendapat yang datang dari salah satu akademisi dan Guru Besar ITB,  Prof. Dr. Andreanus A. Soemardji. Bertempat di ruang kerjanya, Andre yang juga praktisi bidang farmasi dan anggota Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan reformasi jaminan kesehatan Indonesia ini.
Dirunut dari sejarahnya, kebijakan jaminan kesehatan nasional ini diawali oleh diterbitkannya UU No. 40 Tahun 2004 mengenai sistem jaminan kesehatan nasional, yang mengamanatkan dibentuknya badang pengelola untuk sistem ini. Pada tahun 2010, DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS. Pada tahun yang sama pula perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan dan setelah proses perundingan yang panjang diterbitkanlah UU No. 24 Tahun 2011 ¬¬. Meskipun BPJS telah termaktub dalam UU formal, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi terpenuhinya hak masyarakat Indonesia, tidak hanya berhenti sampai BPJS diterapkan awal tahun ini.

Dengan adanya sistem jaminan kesehatan ini, masyarakat pengguna JKN diarahkan untuk berobat ke dokter keluarga, klinik atau puskesmas sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit mitra, kecuali untuk kasus kesehatan yang bersifat gawat darurat. "Hal penting yang perlu disoroti dari kebijakan ini adalah kesiapan tenaga kerja dan kompetensi yang ada. Bidang kesehatan merupakan sektor yang sangat vital, berkaitan langsung dengan masyarakat. Pemahaman mengenai farmako ekonomi harus dipahami baik baik, tujuan dari perawatan kesehatan haruslah diutamakan. Bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian sumber daya yang efisien," ujar Andre. Seringkali pelayanan efisien dari sudut pandang pasien merupakan biaya yang seminimal mungkin, tantangannya adalah dengan sumber dana yang tersedia, kualitas pelayanan kesehatan haruslah tetap menjadi prioritas utama. Di lain hal, kualitas pelayanan kesehatan tentu tidak bisa dilepaskan dari sektor ketenagakerjaan.

"Tenaga kerja kesehatan, yang saya artikan sebagai dokter, farmasis atau apoteker, dan perawat mestinya memiliki kompetensi yang memadai.  Selain itu perlu dilihat lagi apakah sudah memenuhi kebutuhan sampai dengan skala pelayanan utama masyarakat. Ambil contoh puskesmas, layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Seyogyanya, setiap puskesmas paling tidak harus memiliki satu dokter atau satu apoteker,  hal ini lah yang harus diperhatikan," tegas Andre. Sudah memadai dan berkualitaskah tenaga kerja kesehatan yang akan menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat ini?, "Pendidikan mengenai sosial kemasyarakatan disini saya nilai perlu," tambahnya.

Selain kedua hal tersebut, hal lain yang perlu digalakkan adalah usaha-usaha preventif  dalam bidang kesehatan disamping upaya kuratif dan rehabilitatif. "Tindakan preventif dalam bidang kesehatan contohnya program gizi dan program imunisasi. Usaha-usaha preventif seperti ini juga sebaiknya menjadi perhatian pemerintah. Tentunya kita tidak ingin, kan, sedikit-sedikit masyarakat Indonesia langsung merujuk ke klinik, puskesmas atau dokter keluarga. Sebaiknya program-program kesehatan yang bersifat preventif dikembangkan  dan didukung oleh pemerintah, dimulai dari program imunisasi misalnya," terang Andre.

Tidak hanya keberjalanan kebijakan jaminan kesehatan nasional ini yang menarik perhatian Andre, tetapi juga proses penyusunan sampai dibentuknya jaminan kesehatan nasional ini. Andre mengungkapkan bahwa selalu ada kaitan antara Pendidikan, Kesehatan, dan Sosial Kemasyarakatan atau sosio cultural. Selain itu, hal lain yang perlu disoroti adalah keterkaitan antara Pendidikan , Kemiskinan, dan Sosio kultural. "Ketiga hal tersebut saling berkaitan. Misalnya, dalam kasus kemiskinan, hal itu erat kaitanya dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kemiskinan sendiri juga kerap kali berujung pada kondisi kesehatan atau sanitasi yang buruk. Jika kondisi kesehatan masyarakat miskin saja semakin buruk dan tidak didukung dengan sanitasi yang memadai, bagaimana mereka dapat membangun sosial ekonomi mereka, ditambah dengan kendala pendidikan yang ada?," ujar Andre.

"Pendidikan, hal tersebut dapat memutus mata rantai kemiskinan dan sosio kultural yang buruk. Dengan pendidikan, masyarakat dapat membangun perkonomian mereka dan pada akhirnya memperoleh penghidupan yang lebih baik, program-program peningkatan kualitas pendidikan harus semakin dikembangkan dan digalakkan, tentunya dengan sasaran penerima yang tepat " ujar Andre yang juga merupakan anggota Majelis Guru Besar ITB tersebut. "Terkait dengan kebijakan jaminan kesehatan nasional ini, Pendidikan juga bisa difokuskan dan dikaitkan dengan persiapan tenaga kerja kesehatan. Sejak dicanangkannya UU SJSN pada 2004 sampai dengan diterapkannya sistem tersebut awal tahun ini.  Dalam rentang waktu persiapan yang tidak sebentar tersebut, pemerintah bisa bekerjasama dengan perguruan tinggi dan atau ikatan profesi untuk menyiapkan tenaga kerja medis sampai diberlakukannya sistem jaminan kesehatan nasional ini, selain persiapan pembangunan sarana prasarana kesehatan" tegasnya.

"Hemat saya, sebagai suatu rekomendasi saya membaginya menjadi rekomendasi secara internal dan eksternal. Rekomendasi internal sebagai upaya mengisi kompetensi diri, seperti pendidikan berkelanjutan bagi apoteker-apoteker khusus dalam bidang upaya preventif dan promotif, penguasaan sistem SJSN, penetapan obat formularium nasional yang mengacu pada kasus di Indonesia, pendidikan asuransi bagi apoteker, dan kesiapan pendidikan atau kurikulum farmasi sebagai antisipasi kualitas anak didik calon apoteker," terang Andre. "Secara eksternal, keterlibatan apoteker dan butir-butir aktivitas  perlu lebih dijelaskan," tambahnya.

Ditanya mengenai harapan terkait penerapan jaminan kesehatan nasional ini, Andre menjawab bahwa penerapan jaminan kesehatan nasional ini diharapkan mampu memacu peningkatan kompetensi sumber daya manusia, namun tidak lupa seperti yang sudah disebutkan, tetap menggiatkan upaya-upaya preventif sebelumnya. "Seorang farmasis harus berpegang teguh pada delapan nilai : leader, decision maker, communicator, long life learner, teacher, care giver, manager, dan researcher," imbuh Andre menutup wawancara.

Sumber gambar : nasional.news.viva.co.id

scan for download