UU Minerba Tingkatkan Nilai Tambah Mineral

Oleh Teguh Yassi Akasyah

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Penerapan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (minerba) sebagai pengganti dari UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, mengharuskan perusahaan tambang melaksanakan proses hilirisasi terhadap mineral mentah atau bijih (ore) yang diperoleh. Pasalnya, produksi bijih mentah hasil pertambangan Indonesia selalu diekspor keluar negeri untuk diolah lebih lanjut. Kondisi inilah yang membuat pemerintah Indonesia merancang adanya tahap lanjutan terhadap hasil pertambangan tersebut sebelum diekspor ke luar negeri. Khususnya, terkait kewajiban pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tambang (smelter) bagi perusahaan tambang yang beroperasi di tanah air.

Para ahli pertabangan menilai bahwa penerapan UU Minerba ini memberikan dampak positif dari berbagai aspek, terutama investasi di sektor minerba.  Lagkah yang diambil pemerintah untuk menghentikan ekspor bijih mineral tanpa melalui proses hilirisasi dinilai beralasan kuat, karena dengan adanya proses pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri akan memberikan nilai tambah yang lebih untuk setiap jenis mineral. Sebelumnya, pada UU No.11/1967 produksi hasil pertambangan berupa bijih mineral dapat diekspor secara besar-besaran ke luar negeri dan masih belum adanya proses hilirisasi yang terumus secara kongkrit. Nilai tambah yang dimaksud akan menaikkan nilai ekspor suatu mineral, contohnya pada ekspor bijih mineral bauksit yang mencapai 47,01 juta ton pada periode Januari - November 2013 dengan hasil ekspor sebesar $40 per ton, sedangkan apabila bijih bauksit tersebut memasuki tahap pemurnian terlebih dahulu maka akan menaikkan nilai ekspor sebesar 10 kali dari kondisi bijih. 

Menurut Majalah Minerals-Asia Edisi 39/2014, Saat ini, Indonesia sedang membangun pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang (smelter) dengan target sejumlah 66 pabrik siap digunakan beberapa tahun kedepan. Pabrik smelter yang sudah sampai tahap 100 persen antara lain PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalsel (besi), PT Cilegon Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi), Indotama Ferro Alloy (mangan), PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining (nikel). Selanjutnya, sebanyak 10 smelter mencapai progres 31-50 persen atau memasuki tahap pertengahan konstruksi, dan 25 unit tahap akhir konstruksi (51-100 persen). Di luar itu, 112 pabrik sedang dalam tahap studi kelayakan.

Di sisi lain, penerapan UU Minerba tersebut juga menimbulkan permasalahan pada perusahaan yang masih belum membangun pabrik smelter. Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk memberikan tenggang waktu selama tiga tahun melalui Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017. Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen. Hal ini bertujuan untuk mempercepat berdirinya pabrik pengolahan tersebut.

Penerapan tahap hilirisasi di Indonesia, maka akan terbentuk konsep multiplayer akan terjadi. Pasalnya, selain menaikkan nilai tambah mineral, proses pengolahan  dapat membantu pabrik pupuk. Hal ini didasari karena dalam tahap pengolahan mineral, akan menghasilkan zat buang, seperti asam sulfat, zat ini dapat dijadikan bahan utama dalam pembuatan pupuk. Selain itu, perguruan tinggi di Indonesia telah mempunyai lulusan metalurgi yang siap untuk memajukan tanah air. Selain itu, Indonesia akan merasakan dampak yang sangat positif di bidang perekonomian dan ketenagakerjaan. 

Sumber foto : www.geschool.net


scan for download