Tjia May On: Bergerilya Menumbuhkan Budaya Riset (1)

Oleh Krisna Murti

Editor -

Pagi itu kami sempat berdiskusi lama. Tak terasa hampir tiga jam pembicaraan kami karena begitu menarik dan berkembang. Pemikiran Pak Tjia May On, yang akrab dipanggil Pak Tjia, mengenai riset di ITB dan Indonesia lugas, tajam dan mengena. Pak Tjia tidak hanya omong mengenai riset, dia juga bertindak. Ratusan publikasinya dimuat di berbagai jurnal Fisika sejak tahun 1966 hingga sekarang. Beruntung benar ITB memiliki guru yang benar-benar sadar tentang kekuatan sains dan teknologi, khususnya dalam wujud riset. Tidak hanya itu, kesadaran itu coba beliau sebarkan sedikit demi sedikit –bergerilya- pada lingkungan sekitarnya walau dukungan terhadap beliau minim. Sharing sejarah hidup dan pemikiran beliau yang penuh semangat itu sama sekali tidak menggambarkan usianya yang sudah 70 tahun pada 25 Desember 2004 lalu. Tepat hari sabtu, minggu lalu, 6 Februari 2005, Departemen Fisika ITB mengadakan sebuah perayaan sederhana 70 tahun Pak Tjia, sekaligus perpisahan Pak Tjia yang memasuki masa pensiun. Walaupun demikian, Pak Tjia masih menjabat sebagai ketua panitia 5th International Symposium on Modern Optics and Its Applications (ISMOA), Agustus 2005 mendatang. ISMOA adalah sebuah simposium internasional tahunan yang diselenggarakan oleh Departemen Fisika ITB, mengundang lebih dari 30 pembicara, ahli Fisika bertaraf internasional. Kepuasan Jiwa Keputusan Pak Tjia untuk terjun ke dunia akademik, khususnya Fisika tidak bukanlah jalan sederhana. Dua hal yang mendasari keputusannya adalah kepuasan dalam membantu orang lain serta perasaan tertantang oleh keingintahuan. Tjia muda amat menyenangi literatur, bacaan-bacaan fiksi seperti novel. “Sering kali saya tenggelam di dalamnya,” ungkap Pak Tjia. Kesukaannya dengan Fisika tidak lepas dari peran ayahnya. Suatu saat, ketika Tjia muda masih duduk di bangku SMA, ayahnya membawakan baginya buku Fisika modern, tanpa rumus. Buku terjemahan itu ditulis dengan pembahasan yang populer. Mulai dari situlah ketertarikan pada Fisika muncul. “Kok fisika banyak menyimpan banyak hal yang misterius, menggelitik, memancing keingintahuan yang besar,” ujar Pak Tjia. Perasaan tertantang oleh keingintahuan ini menjadi modal bagi Tjia muda untuk masuk ke ITB, jurusan Fisika. “Kalo saya gak belajar fisika, saya gak bakal tau.” Beliau masuk di ITB tahun 1955. Pada tahun yang sama pula, Tjia muda pindah ke jurusan Elektro karena pernah dinasehati oleh seorang dosennya bahwa belajar Fisika itu lama. Karena beliau kuliah dengan uang pinjaman dan tidak mau meminjam dalam waktu yang terlalu lama, maka orang tua pun menasehati agar pindah jurusan. Maka, di tengah tahun pertama, beliau menjadi mahasiswa teknik Elektro. Di elektro beliau bertahan sampai tahun ketiga. Tjia muda merasa tidak betah belajar di elektro. “Apa-apa empiris, dosennya gak bisa ditanyain, hanya rumus, gak ada penjelasan,” ungkap Pak Tjia “Gak ada pengertian, kering.” Waktu itu beliau amat mendambakan kembali ke jurusan Fisika. Keinginan ini semakin besar karena teman sekamar beliau yang mahasiswa Fisika ITB, menceritakan mengenai asikya belajar Fisika. Di tahun ketiga, Tjia muda mengajar di SMA sekaligus bimbingan privat sehingga bisa mandiri, tanpa tergantung biaya orang tua dan biaya pinjaman lagi. Dengan beralasan ini, Tjia muda meminta ijin dari orang tua untuk kembali pindah ke jurusan Fisika lagi. “Karena memang tidak betah!” ungkap beliau, “Tidak sesuai dengan jiwa saya.” Di akhir tahun ketiga, tepatnya tahun 1958, Tjia muda kembali menjadi mahasiswa Fisika. Kepindahan kembali ke Fisika murni karena memang beliau merasa tidak betah. “Di elektro saya belajar untuk lulus saja,” kenangnya. Baginya ada orang-orang yang memang diajari rumus begitu saja lalu langsung mengerti dan paham. Tapi, yang jelas itu tidak cocok dengan beliau. Di departemen Fisika, beliau tertinggal dua tahun lebih dari teman-temannya. Tapi, beliau tetap mengejar semua kuliah dan ujian dengan bersemangat. “Tidak terasa berat,” kenang Pak Tjia, “karena memang saya bahagia sekali kembali ke Fisika.” Kepuasan Mendongeng Pada dasarnya, Pak Tjia memang senang mengajar. Semenjak SMA, beliau kerap sekali membantu teman-temannya belajar. Saat mengajar, seseorang terpaksa menguasai keseluruhan bahan pengajaran; harus dipahami, dibayangkan, dan disusun kembali secara runtut. “Semuanya harus utuh di kepala saya. Saat saya ngajar saya tidak pernah pake catatan, maka semuanya harus jelas di kepala saya,” kenang beliau, “Jadi saya bisa seperti mendongeng.” Karena itulah Pak Tjia kerap sekali mengungkapkan pentingnya ‘mendongeng’ itu. Setelah melihat teman-teman yang beliau ajari mengerti, Pak Tjia merasakan kepuasan yang mendalam. “Saya jadi diperbolehkan pinjam motor oleh teman saya,” canda beliau, “Tapi, yang terutama saya merasa puas. Bagi saya, ini sangat rewarding.” Hal ini pula yang membuat Pak Tjia kerap menasehati mahasiswanya untuk belajar bersama. Bagi beliau, mengajari teman-teman lain itu bukan hanya mendapatkan pahala atau kepuasan saja, melainkan si pengajar juga mendapatkan ilmu yang lebih mantap dan lengkap. Ketika mengajar di SMA, walaupun juga masih berstatus mahasiswa, beliau bahkan kerap memberikan les tambahan secara suka rela. Perasaan ‘rewarding’ itulah yang dicari dan didapatkan oleh Pak Tjia setiap kali ‘mendongeng’-kan ilmunya bagi orang lain. Karena kepuasan jiwa itulah, beliau memutuskan masuk ke dunia akademik sebagai pengajar. Lebih Jauh Mendalami Fisika Pak Tjia lulus sarjana pada tahun 1962. Selanjutnya beliau menjadi asisten guru besar dan sudah dipercaya mengajar Mekanika Lanjut bagi mahasiswa tingkat tiga. Tahun 1963, beliau mengikuti program kursus satu tahun di Amerika Serikat (AS) yang diadakan Departemen Fisika. Perasaan tertantang dan ingin tahu yang lebih mendalam mengenai Fisika ditemui olehnya, saat Pak Tjia pergi ke Northwestern University,AS untuk mengikuti program kursus Fisika selama satu tahun. Pada bulan yang ketiga, diselenggarakanlah Annual Conference APS (American Physic Society) tingkat nasional. “Pada momen itulah, mata saya terbuka,” kenang Pak Tjia. Tjia muda yang baru lulus sarjana mengagumi berbagai perdebatan dan kemajuan ilmu Fisika. “Ternyata begini orang-orang (Fisika yang) hebat itu,” tandas Pak Tjia, “Satu rumus bisa jadi dasar perdebatan antara orang teoritis dan orang eksperimentalis.” Setelah mengikuti konferensi itu, rasa tertantang Pak Tjia untuk mengembangkan lebih jauh Fisika tergugah. Di akhir program kursus staff pengajar ITB yang hanya satu tahun, beliau nekat mengikuti qualifiying exam untuk mengambil gelar doktor. Padahal, ujian kualifikasi ini mencakup enam tahun belajar Fisika di perguruan tinggi: empat tahun undergraduate program dan dua tahun graduate program. Nekatnya lagi, waktu untuk belajar hanya 12 hari. Guru besarnya, Prof. C. Albright, yang menangani pendaftaran beliau sampai meragukan: “Are you kidding? Its only 12 days before the exam!” Resiko yang harus dihadapi, kalau hasil ujian ini terlalu jelek, malah tidak akan ada kesempatan kedua untuk mengambil program doktor. Selama 12 hari penuh, Pak Tjia belajar. Hebatnya, Pak Tjia akhirnya lulus ‘qualifiying exam’ yang meliputi ujian tertulis dan ujian lisan itu. Maka, semenjak tahun 1963, Pak Tjia mengambil program doktoral di Northwestern University, AS sampai selesai tahun 1969. Kembali ke Tanah Air Setelah lulus dari Northwestern University, Pak Tjia kembali ke tanah air, membawa banyak semangat dan modal ilmu Fisika untuk dikembangkan. Pak Tjia sempat menerima beberapa fellowship, antara lain dari International Center for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia pada tahun 1974 untuk melakukan penelitian tentang fisika partikel, serta dari The Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) tahun 1980 untuk mengikuti penelitian di Osaka Univerity, dalam bidang Applied Spectroscopy. Penelitian mengenai superkonduktivitas dirintis oleh beliau dengan modal minim: tungku pinjaman dari luar ITB dan sedikit dana penelitian Basic Science. Walaupun demikian, penelitian ini berkembang luar biasa hingga sekarang bekerja sama dengan laboratorium superkondukor Universitas Amsterdam. Pengalaman dan keahlian Pak Tjia memang luas dan mengagumkan. Sebelumnya mendalami di bidang superkonduktivitas, Pak Tjia juga melakukan penelitian fisika partikel di bidang geofisika, serta di bidang conducting polymer –polimer yang memiliki sifat konduktor- yang bekerja sama dengan LIPI. Selain itu juga sempat mengembangkan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Disamping itu, Pak Tjia juga menggeluti bidan optoelektronika dan laser. Pada tahun 1977, Pak Tjia dan Pak Barmawi bersama-sama dengan Pak Ahmad Soemarjono dan Pak Purnomosidi Hadjisaroso serta dukungan dari para guru besar Jepang (Y. Emori, S. Minami, dan T. Asakura) memelopori pendirian program pascasarjana bidang optoelektronika di Universitas Indonesia. “Selama dapat melakukan kegiatan akademik dan menantang secara intelektual, ya lakukan saja,” tandas Pak Tjia. Pagi itu kami sempat berdiskusi lama. Tak terasa hampir tiga jam pembicaraan kami karena begitu menarik dan berkembang. Pemikiran Pak Tjia May On, yang akrab dipanggil Pak Tjia, mengenai riset di ITB dan Indonesia lugas, tajam dan mengena. Pak Tjia tidak hanya omong mengenai riset, dia juga bertindak. Ratusan publikasinya dimuat di berbagai jurnal Fisika sejak tahun 1966 hingga sekarang. Beruntung benar ITB memiliki guru yang benar-benar sadar tentang kekuatan sains dan teknologi, khususnya dalam wujud riset. Tidak hanya itu, kesadaran itu coba beliau sebarkan sedikit demi sedikit –bergerilya- pada lingkungan sekitarnya walau dukungan terhadap beliau minim. Sharing sejarah hidup dan pemikiran beliau yang penuh semangat itu sama sekali tidak menggambarkan usianya yang sudah 70 tahun pada 25 Desember 2004 lalu. Tepat hari sabtu, minggu lalu, 6 Februari 2005, Departemen Fisika ITB mengadakan sebuah perayaan sederhana 70 tahun Pak Tjia, sekaligus perpisahan Pak Tjia yang memasuki masa pensiun. Walaupun demikian, Pak Tjia masih menjabat sebagai ketua panitia 5th International Symposium on Modern Optics and Its Applications (ISMOA), Agustus 2005 mendatang. ISMOA adalah sebuah simposium internasional tahunan yang diselenggarakan oleh Departemen Fisika ITB, mengundang lebih dari 30 pembicara, ahli Fisika bertaraf internasional. Kepuasan Jiwa Keputusan Pak Tjia untuk terjun ke dunia akademik, khususnya Fisika tidak bukanlah jalan sederhana. Dua hal yang mendasari keputusannya adalah kepuasan dalam membantu orang lain serta perasaan tertantang oleh keingintahuan. Tjia muda amat menyenangi literatur, bacaan-bacaan fiksi seperti novel. “Sering kali saya tenggelam di dalamnya,” ungkap Pak Tjia. Kesukaannya dengan Fisika tidak lepas dari peran ayahnya. Suatu saat, ketika Tjia muda masih duduk di bangku SMA, ayahnya membawakan baginya buku Fisika modern, tanpa rumus. Buku terjemahan itu ditulis dengan pembahasan yang populer. Mulai dari situlah ketertarikan pada Fisika muncul. “Kok fisika banyak menyimpan banyak hal yang misterius, menggelitik, memancing keingintahuan yang besar,” ujar Pak Tjia. Perasaan tertantang oleh keingintahuan ini menjadi modal bagi Tjia muda untuk masuk ke ITB, jurusan Fisika. “Kalo saya gak belajar fisika, saya gak bakal tau.” Beliau masuk di ITB tahun 1955. Pada tahun yang sama pula, Tjia muda pindah ke jurusan Elektro karena pernah dinasehati oleh seorang dosennya bahwa belajar Fisika itu lama. Karena beliau kuliah dengan uang pinjaman dan tidak mau meminjam dalam waktu yang terlalu lama, maka orang tua pun menasehati agar pindah jurusan. Maka, di tengah tahun pertama, beliau menjadi mahasiswa teknik Elektro. Di elektro beliau bertahan sampai tahun ketiga. Tjia muda merasa tidak betah belajar di elektro. “Apa-apa empiris, dosennya gak bisa ditanyain, hanya rumus, gak ada penjelasan,” ungkap Pak Tjia “Gak ada pengertian, kering.” Waktu itu beliau amat mendambakan kembali ke jurusan Fisika. Keinginan ini semakin besar karena teman sekamar beliau yang mahasiswa Fisika ITB, menceritakan mengenai asikya belajar Fisika. Di tahun ketiga, Tjia muda mengajar di SMA sekaligus bimbingan privat sehingga bisa mandiri, tanpa tergantung biaya orang tua dan biaya pinjaman lagi. Dengan beralasan ini, Tjia muda meminta ijin dari orang tua untuk kembali pindah ke jurusan Fisika lagi. “Karena memang tidak betah!” ungkap beliau, “Tidak sesuai dengan jiwa saya.” Di akhir tahun ketiga, tepatnya tahun 1958, Tjia muda kembali menjadi mahasiswa Fisika. Kepindahan kembali ke Fisika murni karena memang beliau merasa tidak betah. “Di elektro saya belajar untuk lulus saja,” kenangnya. Baginya ada orang-orang yang memang diajari rumus begitu saja lalu langsung mengerti dan paham. Tapi, yang jelas itu tidak cocok dengan beliau. Di departemen Fisika, beliau tertinggal dua tahun lebih dari teman-temannya. Tapi, beliau tetap mengejar semua kuliah dan ujian dengan bersemangat. “Tidak terasa berat,” kenang Pak Tjia, “karena memang saya bahagia sekali kembali ke Fisika.” Kepuasan Mendongeng Pada dasarnya, Pak Tjia memang senang mengajar. Semenjak SMA, beliau kerap sekali membantu teman-temannya belajar. Saat mengajar, seseorang terpaksa menguasai keseluruhan bahan pengajaran; harus dipahami, dibayangkan, dan disusun kembali secara runtut. “Semuanya harus utuh di kepala saya. Saat saya ngajar saya tidak pernah pake catatan, maka semuanya harus jelas di kepala saya,” kenang beliau, “Jadi saya bisa seperti mendongeng.” Karena itulah Pak Tjia kerap sekali mengungkapkan pentingnya ‘mendongeng’ itu. Setelah melihat teman-teman yang beliau ajari mengerti, Pak Tjia merasakan kepuasan yang mendalam. “Saya jadi diperbolehkan pinjam motor oleh teman saya,” canda beliau, “Tapi, yang terutama saya merasa puas. Bagi saya, ini sangat rewarding.” Hal ini pula yang membuat Pak Tjia kerap menasehati mahasiswanya untuk belajar bersama. Bagi beliau, mengajari teman-teman lain itu bukan hanya mendapatkan pahala atau kepuasan saja, melainkan si pengajar juga mendapatkan ilmu yang lebih mantap dan lengkap. Ketika mengajar di SMA, walaupun juga masih berstatus mahasiswa, beliau bahkan kerap memberikan les tambahan secara suka rela. Perasaan ‘rewarding’ itulah yang dicari dan didapatkan oleh Pak Tjia setiap kali ‘mendongeng’-kan ilmunya bagi orang lain. Karena kepuasan jiwa itulah, beliau memutuskan masuk ke dunia akademik sebagai pengajar. Lebih Jauh Mendalami Fisika Pak Tjia lulus sarjana pada tahun 1962. Selanjutnya beliau menjadi asisten guru besar dan sudah dipercaya mengajar Mekanika Lanjut bagi mahasiswa tingkat tiga. Tahun 1963, beliau mengikuti program kursus satu tahun di Amerika Serikat (AS) yang diadakan Departemen Fisika. Perasaan tertantang dan ingin tahu yang lebih mendalam mengenai Fisika ditemui olehnya, saat Pak Tjia pergi ke Northwestern University,AS untuk mengikuti program kursus Fisika selama satu tahun. Pada bulan yang ketiga, diselenggarakanlah Annual Conference APS (American Physic Society) tingkat nasional. “Pada momen itulah, mata saya terbuka,” kenang Pak Tjia. Tjia muda yang baru lulus sarjana mengagumi berbagai perdebatan dan kemajuan ilmu Fisika. “Ternyata begini orang-orang (Fisika yang) hebat itu,” tandas Pak Tjia, “Satu rumus bisa jadi dasar perdebatan antara orang teoritis dan orang eksperimentalis.” Setelah mengikuti konferensi itu, rasa tertantang Pak Tjia untuk mengembangkan lebih jauh Fisika tergugah. Di akhir program kursus staff pengajar ITB yang hanya satu tahun, beliau nekat mengikuti qualifiying exam untuk mengambil gelar doktor. Padahal, ujian kualifikasi ini mencakup enam tahun belajar Fisika di perguruan tinggi: empat tahun undergraduate program dan dua tahun graduate program. Nekatnya lagi, waktu untuk belajar hanya 12 hari. Guru besarnya, Prof. C. Albright, yang menangani pendaftaran beliau sampai meragukan: “Are you kidding? Its only 12 days before the exam!” Resiko yang harus dihadapi, kalau hasil ujian ini terlalu jelek, malah tidak akan ada kesempatan kedua untuk mengambil program doktor. Selama 12 hari penuh, Pak Tjia belajar. Hebatnya, Pak Tjia akhirnya lulus ‘qualifiying exam’ yang meliputi ujian tertulis dan ujian lisan itu. Maka, semenjak tahun 1963, Pak Tjia mengambil program doktoral di Northwestern University, AS sampai selesai tahun 1969. Kembali ke Tanah Air Setelah lulus dari Northwestern University, Pak Tjia kembali ke tanah air, membawa banyak semangat dan modal ilmu Fisika untuk dikembangkan. Pak Tjia sempat menerima beberapa fellowship, antara lain dari International Center for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia pada tahun 1974 untuk melakukan penelitian tentang fisika partikel, serta dari The Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) tahun 1980 untuk mengikuti penelitian di Osaka Univerity, dalam bidang Applied Spectroscopy. Penelitian mengenai superkonduktivitas dirintis oleh beliau dengan modal minim: tungku pinjaman dari luar ITB dan sedikit dana penelitian Basic Science. Walaupun demikian, penelitian ini berkembang luar biasa hingga sekarang bekerja sama dengan laboratorium superkondukor Universitas Amsterdam. Pengalaman dan keahlian Pak Tjia memang luas dan mengagumkan. Sebelumnya mendalami di bidang superkonduktivitas, Pak Tjia juga melakukan penelitian fisika partikel di bidang geofisika, serta di bidang conducting polymer –polimer yang memiliki sifat konduktor- yang bekerja sama dengan LIPI. Selain itu juga sempat mengembangkan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Disamping itu, Pak Tjia juga menggeluti bidan optoelektronika dan laser. Pada tahun 1977, Pak Tjia dan Pak Barmawi bersama-sama dengan Pak Ahmad Soemarjono dan Pak Purnomosidi Hadjisaroso serta dukungan dari para guru besar Jepang (Y. Emori, S. Minami, dan T. Asakura) memelopori pendirian program pascasarjana bidang optoelektronika di Universitas Indonesia. “Selama dapat melakukan kegiatan akademik dan menantang secara intelektual, ya lakukan saja,” tandas Pak Tjia. (bersambung)

scan for download