Kuliah Umum Prodi Meteorologi: Keamanan Energi versus Perubahan Iklim

Oleh Krisna Murti

Editor -

Bandung, itb.ac.id - Dalam kerangka kuliah Kapita Selekta Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Program Studi Meteorologi menyelenggarakan kuliah umum bertema keamanan energi dan perubahan iklim. Sebagai pemberi kuliah, hadir Ir. Hardiv H. Situmeang MSc, DSc, ketua Komite Nasional Indonesia untuk World Energy Council. Lulusan Teknik Elektro ITB ini mengangkat dua isu yang kini banyak dilihat saling kontra yaitu pemenuhan energi dan perubahan iklim. Dalam kuliah berdurasi nyaris lewat dari dua jam ini, pertama Hardiv mengangkat tren energi dunia dalam bentuk data-data yang bersumber dari beberapa laporan resmi Asosiasi Energi Internasionla (IEA). Di dalamnya tampak jelas ketergantungan dunia dengan energi dari bahan bakar fosil. Selanjutnya Hardiv pun mengangkat fakta-fakta mengenai negara-negara dengan persediaan sumber-sumber energi utama -yaitu batu bara, gas alam, dan minyak bumi- terbesar dunia. Sedihnya, Indoensia tidak masuk dalam satupun daftar 10 negara dengan cadangan sumber energi terbesar. Dengan cadangan terbukti (proven reserve) hanya 4.3 milyar barel, Indonesia tidak masuk dalam daftar 20 negara dengan cadangan minyak terbesar. Bandingkan dengan Iran pada daftar nomor tiga dengan cadangan 132 milyar barel. Dalam data gas alam, Indonesia masuk dalam daftar nomor 14 dengan cadangan 1.5% dunia. Bandingkan dengan Rusia dengan cadangan mencapai 26.6%. "Jangan terbuai dengan omongan Indonesia kaya dengan batu bara atau gas alam," tutur Hardiv keras, "Padahal ingat, negara yang energinya terjamin, masa depannya terjamin." Saat masuk dalam pembahasan mengenai perubahan iklim, Hardiv kembali mengangkat fakta. Kali ini, dengan parameter utama emisi karbon dioksida (CO2). Berbagai data yang terkait dengan karbon dioksida dipaparkannya, mengundang keprihatinan akan kondisi bumi. Indikator lain yang juga ia perkenalkan dalam menganalisis "keamanan energi vs. perubahan iklim" adalah indikator indeks pembangunan manusia (human development index) dan indikator besarnya investasi pembangunan kelistrikan. Dalam suatu grafik, Hardiv menunjukkan bahwa makin tinggi indeks pembangunan manusia, makin tinggi pula konsumsi energi komersil. Dalam menghadapi "kubu" yang saling kontra tersebut, Hardiv mengangkat pentingnya pemodelan skenario dan bukti nyata (hard evidence). Selanjutnya adalah kebijakan yang mendukung pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mengandung usaha mitigasi perubahan iklim serta teknologi yang berwawasan lingkungan serta berkelanjutan. Perpres No.5 tahun 2006 disinggungnya sebagai suatu kebijakan yang tepat namun Hardiv mempertanyakan implementasinya. Di Indonesia, banyak sekali teknologi berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang dapat diaplikasikan namun tidak pernah berhasil sepenuhnya. "Satu-satunya cara agar itu berhasil adalah memasukkan konsep 'pajak karbon' ke dalam sistem ekonomi kita," katanya. Ia kemudian menyontohkan Norwegia yang menagih 50 USD per tahun per ton bagi setiap warga negaranya yang dalam aktivitasnya terbukti mengemisikan karbon dioksida. "Buat apa beli mobil hybrid yang mahal, kalau beli mobil konvensional pun murah dan tidak ada kebijakan yang memberatkan," lanjutnya. Kebijakan lain yang diusungnya termasuk kebijakan yang meningkatkan kesadaran publik, kebijakan penelitian dan pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, sertifikat hijau, dsb. Pelaksanaan proses ini memang membutuhkan kerjasama dua lapisan. Lapis pertama pada level global di mana dituntut kerjasama dan kesadaran global untuk "membatasi diri" dalam pemenuhan konsumsi dan dalam usaha mengamankan sektor energinya masing-masing. Selanjutnya dalam lapis nasional tiap negara di mana diharapkan terwujud instrumen-instrumen kebijakan nasional yang dapat mempertemukan kedua kubu itu. "Justru kelak akan terbentuk 'equilibrium' baru (di antara dua kubu tersebut -red.)," kata Hardiv yakin.

scan for download