100 Tahun ITB

Ir. Budi Rahardjo MSc., PhD : Technopreneur Bidang Keamanan Informasi Pertama di Indonesia

Pendidikan :
  • S-1 Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung, Bandung 1986
  • S-2 Electrical Computer University of Manitoba, Manitoba, Canada 1990
  • S-3 Electrical Computer University of Manitoba, Manitoba, Canada 1996
Karier :
  • IT Standarization, 2006
  • Direktur R&D ITB, 2003-2004
  • Konsultan Disperindag, 2001-sekarang
  • Konsultan teknologi, Cyberlaw, 2000-sekarang
  • Motivator, evangelist, web master, Bandung High Tech Valley, 1999-sekarang
  • Technology & Security consultant Indosign, Jakarta, 2000
  • Security consultant PCI, Jakarta, 2000
  • PIKSI, ITB Bandung, 1999-2001
  • Technical Consultant Jakarta, 1998-1999
  • Lab ELKA, EL, ITB Bandung, 1997-2002
  • PPAU Mikroelektronika, ITB Bandung, 1997-sekarang
  • Electrical Engineering Dept., ITB Bandung, 1997-sekarang
  • PT Insan Infonesia Bandung, Indonesia, 1996-sekarang
  • TRLabs Winnipeg, Canada, 1995-1997
  • Computer Services, U of ManitobaWinnipeg, Canada, 1989-1996
  • Electrical and Computer Eng., U of M, Canada, 1987-1997
Siang itu tim 100 tahun ITB berkesempatan untuk berbincang dengan Ir. Budi Rahardjo MSc., PhD mengenai perjalanan beliau sebagai dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI ITB) sekaligus seorang technopreneur yang memiliki perusahaan di bidang keamanan informasi (information security), komputer, dan jaringan pertama di Indonesia yang bernama Indocisc. Pria yang lahir di Yogyakarta, 20 Oktober 1962 ini menyambut kami dengan ramah dan membuka percakapan dengan sangat antusias.

Pada awalnya tidak pernah terbesit sedikitpun di benak beliau untuk menjadi seorang entrepreneur. Namun, semuanya berubah ketika beliau mengenyam pendidikan S-2 di Kanada. Kala itu, sekitar tahun 1980, beliau dan teman-temannya mencoba untuk mendirikan sebuah perusahaan. Belum berjalan lama, perusahaan tersebut gagal karena latar belakang beliau dan teman-teman yang berasal dari fakultas teknik sehingga tidak begitu paham cara menjalankan perusahaan. “Ya pada saat setelah gagal itu sebenarnya saya coba buat perusahaan lagi di sana (Kanada), tapi gagal lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Tahun 1997 saya kembali ke ITB dan dua tahun setelahnya (1999) saya diminta untuk membantu mengamankan sistem KPU. Saat itu saya kepikiran, di Indonesia kok belum ada ya perusahaan untuk mengamankan informasi yang ada di internet. Akhirnya tercetus ide untuk bangun perusahaan yang fokus ke transaction system (sistem yang memiliki fitur transaksi seperti bank, saham, dan lainnya) dan terbentuklah Indocisc di akhir tahun 1999,” Jelas beliau.

Pemahaman tentang teknologi informasi itu sama pentingnya seperti orang bisa baca tulis sekarang. Mungkin tidak perlu jadi ahli IT tapi tentu saja harus paham bagaimana memanfaatkan IT dalam kehidupan sehari-hari serta bisnis mereka

Selain Indocisc, Budi juga sempat memiliki perusahaan musik digital seperti iTunes, namun sayangnya tidak dapat bertahan lama. Penyebabnya adalah pada saat itu penggunaan internet tidak se-masif sekarang sehingga sulit untuk menentukan metode pembayaran. Lain halnya dengan saat ini dimana banyak sekali metode pembayaran secara online yang tersedia. Masalah lain yang beliau hadapi adalah kesulitan dalam mencari sumber daya manusia (SDM). Budi melihat bahwa jumlah SDM yang lari ke dunia teknologi masih minim sehingga persaingan antar perusahaan teknologi dalam hal perekrutan SDM cukup tinggi. Belum lagi beberapa dari mereka memutuskan untuk lanjut S-2 serta S-3 terlebih dahulu. Beliau menerangkan bahwa sebetulnya untuk bekerja di perusahaan teknologi tidak harus spesifik lulusan IT, dari latar belakang manapun bisa saja bekerja di perusahaan teknologi. Ketika ditanya mengenai jumlah SDM selain jurusan IT yang bekerja di Indocisc, beliau menjawab, “Haha, pasti ngga akan nyangka. Setengahnya dari luar jurusan IT! Di Indocisc tidak hanya ada bidang programming tapi ada juga yang bidang dokumentasi dan buat laporan. Justru di Indocisc yang jago buat laporan tuh bukan dari IT, tapi dari bidang lain seperti Astronomi, Kehutanan, dan Pertanian. Mereka lebih rapi dalam membuat dokumentasi,” Ucap Budi.

Beliau melihat bahwa saat ini banyak orang yang menutup mata dari dunia IT dan beranggapan bahwa belajar IT itu tidak penting jika bukan berasal dari jurusan IT. Padahal, Budi beranggapan bahwa IT itu penting layaknya belajar baca tulis. “Selain ngajar di STEI ITB, saya juga mengajar para profesional atau calon entrepreneur di MBA SBM ITB yang kebanyakan latar belakangnya bukan dari IT. Mereka berasal dari beragam latar belakang, ada yang bergelut di bidang Fashion, Food&Beverage, dst. Banyak yang belum menyadari bahwa IT itu sebetulnya bisa digunakan dalam bisnis seperti backend (tracking order, menata perusahaannya) dan marketing (social media, digital marketing). Pemahaman tentang teknologi informasi itu sama pentingnya seperti orang bisa baca tulis sekarang. Mungkin tidak perlu jadi ahli IT tapi tentu saja harus paham bagaimana memanfaatkan IT dalam kehidupan sehari-hari serta bisnis mereka,” Pungkasnya.

Peran utama beliau memang pada awalnya adalah seorang pengajar yang mendedikasikan dirinya kepada almamater tercinta, Institut Teknologi Bandung. Menjadi seorang technopreneur tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Budi karena beliau tidak hanya merancang strategi perusahaan dari aspek teknisnya saja, tetapi juga dari aspek sosial. Banyak hal baru yang beliau pelajari ketika mendirikan Indocisc. “Ya saya belajar banyak tentang teknologinya. Tidak boleh berhenti belajar karena teknologi tuh update terus. Kemudian bingung juga mau belajar dimana karena di Indonesia sendiri, information security itu termasuk baru. Di luar negeri pun termasuk baru, mereka perlu belajar juga,” Jelas beliau.

Sebagai seorang alumni yang mengabdi kepada almamater tercinta, tentunya beliau merasakan berbagai hal ketika menempuh pendidikan dan berkarier di Institut Teknologi Bandung. Beliau merasa bahwa dulu ketika menjadi mahasiswa kurang mendapat tempat untuk “ngoprek”. Ketika di kelas, mahasiswa hanya diberikan landasan-landasannya saja, sedangkan teknologinya perlu belajar sendiri. Di sisi lain, tempat untuk belajar dan mengeksplor teori tersebut tidak tersedia di kampus. Menurut beliau, jika tidak ada tempat bagi mahasiswa untuk “ngoprek”, ketika sudah lulus akan kesulitan karena perlu mempelajari lagi beragam teknologi yang sedang naik daun. Padahal, teknologi informasi itu sangat cepat berkembang. Prediksi untuk lima tahun kedepan saja cukup sulit dilakukan.

Mungkin kalau ada fakultas sosialnya, mahasiswa ITB jadi lebih luwes ketika berkomunikasi. ITB orangnya sangat teknis, kualitasnya bagus tapi kemampuan komunikasinya kurang

Kesabaran beliau ketika berhadapan dengan beragam kegagalan memang patut diacungi jempol. Kegagalan tersebut tidak mengurungkan semangat beliau untuk mendirikan perusahaan teknologi, sebaliknya malah menjadi motivasi untuk terus belajar dan bangkit kembali. Jika saja beliau langsung menyerah pada saat perusahaan pertamanya gagal, tentu saat ini Indocisc tidak akan ada.

Akhir kata, menjelang peringatan 100 tahun ITB di tahun 2020 ini, Budi menyampaikan harapan untuk ITB terkait teknologi serta kesan pesan beliau sebagai alumni sekaligus dosen di ITB. “Saya berharap ITB tetap mencetak orang-orang yang berorientasi kepada teknologi, semakin banyak alumninya secara kuantitas dan kualitas, cepat tanggap untuk mengadopsi teknologi yang baru, serta jangan terlalu berhemat untuk investasi teknologi kedepan. Lalu, infrastrukturnya, mata kuliahnya, serta dosennya ambil yang berkualitas sehingga kita punya alumni yang terdepan di bidang teknologi. Kalau kesan pesannya, ITB itu menurut saya kelas dunia juga, ketika saya sekolah di luar negeri saya merasa ITB tidak tertinggal terlalu jauh karena buku yang dipakai sama dan tidak merasa minder karena ilmunya juga setara. Tapi ada juga kejelekannya karena kita terlalu teknis, skill berkomunikasi alumni ITB kurang. Mungkin kalau ada fakultas sosialnya, mahasiswa ITB jadi lebih luwes ketika berkomunikasi. ITB orangnya sangat teknis, kualitasnya bagus tapi kemampuan komunikasinya kurang,” Tutup beliau.