Usulan Tim Satgas ITB: Perlu Implementasi Grey Infrastructure dan Green Infrastructure untuk Penanganan Banjir DKI Jakarta

Oleh Adi Permana

Editor -

grey (hard) structure, green (soft) infrastructure

BANDUNG, itb.ac.id - Ketua Satgas Kajian Penanggulangan Banjir DKI Jakarta dan Sekitarnya, Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir. M. Cahyono, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa perlu adanya integrasi dalam upaya pengelolaan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya. Integrasi tersebut meliputi upaya struktural berupa , dan upaya nonstruktural.


*Sumber : antarafoto

Hal tersebut ia paparkan berdasarkan hasil kajian dari Tim Satgas Kajian Banjir Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada Humas ITB di Gedung Center of Infrastructure and Built Environment (CIBE) ITB Selasa (10/3/2020). Cahyono dan timnya mengatakan, grey infrastructure adalah alternatif solusi pengurangan resiko banjir dengan upaya yang bersifat fisik struktural atau konstruksi. Sedangkan green infrastructure merupakan konsep penataan ruang yang mengaplikasikan infrastruktur ramah lingkungan, yaitu infrastruktur yang tidak mengganggu siklus alami lingkungan. “Untuk menunjang upaya struktural, maka diperlukan integrasi dengan upaya nonstruktural yang berupa koordinasi antar-stakeholder yang terkait, pemberdayaan masyarakat, serta penegakan regulasi yang berkaitan dengan konstruksi dan lingkungan,” ujarnya.

Cahyono menganalogikan penanganan banjir DKI Jakarta ibarat pertolongan pada sakit jantung. “Ring jantung mungkin akan menyelamatkan hidup, namun hal tersebut akan percuma saja jika orang tersebut tidak dapat menjaga pola makan sehat serta olahraga teratur,” tuturnya.

Implementasi Grey Infrastructure

Dalam laporan kajian tersebut, kehadiran grey infrastructure bertujuan sebagai alternatif solusi pengurangan resiko banjir. Sudah banyak masterplan, studi, dan perencanaan dilakukan untuk penanggulangan banjir Jabotabek. Saat ini, grey infrastructure yang ada di DKI Jakarta terdiri dari saluran drainase makro/sungai (13 sungai yang melintas di 2 provinsi, Banjir Kanal (floodway) dan 18 sungai di wilayah DKI Jakarta sepanjang 429,17 km, Saluran Penghubung dan Mikro sepanjang 13.595 km, pompa air sebanyak 442 unit, kolam pengendali banjir seluas 198,26 ha, kolam retensi seluas 155,4 ha, dan pintu air pengendali banjir sebanyak 30 lokasi. Meskipun hampir seluruh area di Jakarta sudah dilengkapi dengan saluran drainase, namun sistem yang ada belum terintegrasi dengan baik sehingga fungsinya belum optimal. Optimalisasi dapat dilakukan dengan penambahan beberapa grey infrastructure di DKI Jakarta.

Untuk itu, pengusulan tambahan grey infrastructure perlu dilakukan. Beberapa usulan tersebut adalah perluasan penampang sungai, pelebaran pintu air, pembuatan sodetan, pembuatan bendungan, dan pemasangan early warning system pada bendung gerak.

Dijelaskan Joko Nugroho, S.T., M.T., Ph.D., salah satu anggota Tim Satgas Kajian Banjir, perluasan penampang sungai bertujuan meningkatkan kapasitas aliran penampang sehingga dapat mengurangi frekuensi terjadinya genangan banjir. Tim Satgas mengusulkan untuk perluasan penampang Kali Ciliwung dan Kali Bekasi.

Adapun menurut Ir. Edy Anto Soentoro Gondodinoto, MA.Sc., Ph.D., pada umumnya kawasan pinggir sungai atau dataran banjir merupakan kawasan yang subur. Di perdesaan, bantaran banjir digunakan sebagai lahan pertanian musiman. Pemanfaatannya tidak dapat dilakukan pada saat banjir, namun dapat dilakukan pada saat menjelang akhir musim hujan. “Namun pada kawasan kota, karena desakan arus urbanisasi, bagian bantaran banjir umumnya juga dijadikan kawasan hunian. Hal ini menimbulkan konflik antara kebutuhan ruang hunian dan ruang air yang menggenangi kawasan hunian atau kawasan aktivitas manusia saat sungai penuh,” ujarnya.

Selain itu, usulan lainnya adalah pembuatan sodetan atau diversi. Penyodetan biasa dilakukan dengan membuat alur/ruas baru dengan cara memperpendek lintasan aliran sungai dengan tujuan mengurangi muka air banjir pada ruas sungai tertentu. Namun opsi penyodetan harus dilakukan dengan sangat hati hati  mengingat dampaknya yg cukup significant terhadap perubahan sistem sungai Beberapa usulan pembuatan sodetan adalah Sodetan Ciliwung-Cisadane dan Sodetan Angke-Cisadane.

Tak kalah penting, pemasangan early warning system pada beberapa bendung gerak yang berguna sebagai pintu air, juga dapat mengurangi dampak banjir. “Saat ini masih terdapat bendung gerak yang masih manual saat air datang. Di Bendung Bekasi, pengoperasian pintu air masih manual sehingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan banjir parah di Bekasi salah satunya karena keterlambatan pembukaan pintu bendung,” tutur Cahyono. Maka dari itu, diperlukan integrasi pemasangan sistem kontrol untuk menggerakkan pintu air berdasarkan peringatan dari early warning system.

Implementasi Green Infrastructure

Pengembangan green infrastructure untuk menanggulangi banjir DKI Jakarta menekankan pada pentingnya konservasi dan fitur alami di lapangan (pepohonan, semak, dan sebagainya). Menurut kajian yang dirilis oleh Tim Satgas Kajian Banjir DKI Jakarta, beberapa upaya yang menunjang green infrastructure adalah pembuatan waduk, situ, kolam basah, kolam kering, bioretensi, atap hijau, polder, dan restorasi sungai serta penataan kawasan hulu sungai.

Pembuatan waduk situ, dan kolam basah umumnya bertujuan untuk menampung air saat banjir sehingga dapat mengurangi banjir di suatu kawasan tertentu. Selain penampung air, waduk, situ, dan kolam basah dapat digunakan sebagai unsur estetika kawasan dan sarana wisata air. Kolam basah dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengendapan atau sedimentasi polutan yang terbawa oleh aliran air hujan. Adapun kolam kering digunakan sebagai penampung air sementara.

Cahyono mengungkapkan, bahwa salah satu upaya green infrastructure yang berkaitan dengan sungai adalah kegiatan restorasi. “Restorasi sungai merupakan pemulihan keadaan alami sungai secara fisik, ekologi, spasial, dan manajemen sehingga dapat menjadi salah satu upaya pengelolaan banjir. Sungai diperlebar luas penampang basahnya namun tetap memperhatikan ekosistem lingkungan sekitar. Di luar negeri, seperti sungai di Taiwan dan Korea Selatan yang telah direstorasi menjadi daya tarik pejalan kaki,” ujarnya.

Sementara itu menurut Dr. Ir. Syawaluddin Hutahaean, M.S., sistem polder sangat efektif untuk mengatasi banjir di dataran rendah. bahwa air hujan akan ditampung pada waduk dan setelah penuh air tersebut akan dipompa ke laut. “Hal tersebut dikarenakan dataran yang terjadi banjir cukup rendah, sehingga diperlukan pompa untuk mengalirkan air ke laut,” tuturnya.

Salah satu anggota tim Satgas Kajian Banjir, Ir. Arief Sudradjat, M.I.S., Ph.D., menuturkan bahwa sebenarnya sudah ada beberapa kebijakan implementasi green infrastructure mengenai pengaturan bangunan gedung hijau pada kawasan urban. Peraturan tersebut tercantum pada Permen PUPR RI. “Permen tersebut merupakan upaya dan kegiatan untuk mempertahankan kondisi hidrologi alami, dengan cara memaksimalkan pemanfaatan air hujan pada suatu bangunan. Namun, pada implementasinya masih mengalami banyak kendala dan belum dipenuhi seutuhnya,” ungkapnya.

Reporter: Billy Akbar Prabowo (Teknik Metalurgi, 2016)


scan for download