ITB Dirikan Shelter Unik dari Bambu untuk Korban Gempa Cianjur

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


CIANJUR, itb.ac.id—Gempa bumi yang melanda Cianjur, Jawa Barat pada 22 November 2022 lalu membuat puluhan ribu rumah rusak berat. Ratusan ribu kepala keluarga pun terdampak akibatnya. Bantuan dari lingkungan sekitar tentunya menjadi hal yang krusial, terutama untuk tenda/shelter.

ITB dan Rumah Amal Salman turun tangan dalam mendirikan shelter unik dari bambu untuk tempat pengungsian sementara. Shelter dari bambu tersebut dirancang oleh desainer dan dosen SAPPK ITB, Dr.-ing. Andry Widyowijatnoko, S.T., M.T.

Dosen dari prodi Arsitektur itu menyumbangkan buah pikirnya. Sudah lama dikenal sebagai seorang ahli struktur bambu, beliau membuat desain shelter bambu yang dapat dibangun dengan sangat cepat dan mampu menampung banyak orang.

Pemilihan material bambu ini juga bukan tanpa alasan. Kemudahan akses, melimpahnya ketersediaan dan harganya yang murah menjadi alasan kuat penggunaan bambu ini untuk shelter di Cianjur. Selain karena urusan logistik, kekuatan internal bambu sebagai material juga menjadi pertimbangan.

“Sejak dulu juga sudah sangat dikenal bahwa bambu merupakan material semi-permanen temporer yang amat baik”, jelas Dr. Andry menjelaskan alasan penggunaan struktur bambu untuk shelter di Cianjur ini.

Shelter bambu ini pun mampu dibangun dalam waktu yang sangat cepat, yaitu 1 hari, dari peletakan rangka pertama sampai siap diisi. Rahasia dari cepatnya proses konstruksi ini adalah teknik pemasangan yang sederhana dan kekuatan struktur yang bergantung pada kekuatan bentuk yang menghasilkan ruang.

“Secara tradisional, masyarakat yang ada di sana sudah familier dengan bambu. Namun, menggabungkan teknik pasang mur-baut dengan bambu adalah hal baru buat mereka. Untungnya, mereka juga dengan mudah mengadaptasi teknik ini dan dengan cepat ikut kontribusi juga dalam proses konstruksi,” jelasnya.

Dr. Andry membuat inovasi shelter bambu berdasarkan pengalaman shelter gempa yang sudah beliau kerjakan sebelumnya. “Sebelumnya, saya sudah memiliki model-model struktural yang siap pakai. Saya dan tim banyak mengambil dari kasus-kasus shelter gempa sebelumnya, seperti di Palu dan Lombok”.

Karena perbedaan lokasi, masalah baru pun ditemui sehingga desain yang sudah sempat terbangun di kota-kota tersebut tidak dapat sebatas di copy-paste.
“Di Cianjur ini ternyata kekuatan angin yang berbeda daripada di Lombok maupun Palu. Sehingga harus ada adaptasi desain dari kami untuk dapat membangun struktur serupa,” ujarnya saat diwawancara reporter Humas ITB, Kamis (1/12/2022).

“Shelter bambu ini mampu menampung 50 orang lebih, dan mampu memberikan kenyamanan ruang menyeluruh yang lebih baik kepada pengungsi”.

Berdasarkan standar, ukuran shelter untuk korban bencana atau mitigasi bencana yang lazim adalah 5,5 m x 12 m dengan tinggi 3,25 m. Biasanya, tenda-tenda lain menggunakan penutup berupa terpal. Material penutup ini mengalirkan panas dari matahari ke ruang di bawahnya secara langsung. Akibatnya, dengan ketinggian yang lebih minim, tentunya pengungsi akan menerima aliran panas tersebut.

Shelter ini juga menggunakan material penutup yang sama. Namun, shelter ini mampu memberikan kenyamanan yang lebih bagi pengungsi. Hal ini terjadi karena ketinggian minimum dari shelter ini mencapai 5 m, yang berarti paparan panas lebih tidak mengganggu ruang di bawahnya. Hebatnya lagi, desain shelter karya dosen ITB dan tim-nya ini mampu mencapai bentang 8x12 m dan ketinggian 4-5 m.

“Sebelumnya, desain shelter bambu ini mampu berdiri sampai 6 bulan. Laporan yang saya terima dari tim lapangan menyatakan warga di sana memang merasa lebih sejuk dan nyaman ketika berada di shelter bambu ini”, tambahnya.

Saat ini, juga telah berdiri shelter komunitas untuk masjid darurat dan telah diresmikan saat sholat jumat di tanggal 2 Desember 2022. Ketika ditanya apa harapan kedepannya terhadap inovasi desainnya yang mampu mempercepat bantuan mitigasi bencana, beliau memiliki visi yang jauh.

“Saya dan tim sangat senang dengan antusiasme dari sana masyarakat sekitar dan anggota ZENI yang ikut membantu di lokasi. Banyak yang mengambil foto-foto dan ingin mempelajari bagaimana cara membuatnya, dengan tujuan direplikasi di berbagai tempat lain,” ujarnya menjelaskan respon positif dari lokasi.

Ke depannya, Andry dan tim telah merencanakan pengadaan workshop shelter bambu ini kepada tim-tim penyelamatan agar kian disebarluaskan ilmu ini untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Reporter: Madeline Abigail Lukito (Arsitektur, 2020)


scan for download