Dorong Aksi Zero Toleransi Kekerasan Seksual, Satgas PPKS ITB Adakan Sosialisasi di Lingkungan Kampus

Oleh Adi Permana

Editor -

Guru Besar Antropologi Hukum FH-UI, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A., saat memberikan materi dalam acara sosialisasi kekerasan seksual di linkungan kampus.

BANDUNG, itb.ac.id - Dalam rangka menggerakkan aksi Zero Tolerance Kekerasan Seksual, SATGAS PPKS ITB mengadakan sosialisasi kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Rabu (31/5/2023) di Lantai 3 Multipurpose Hall CRCS ITB.

Sosialisasi ini disampaikan oleh Guru Besar Antropologi Hukum FH-UI, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A. Acara dibuka dengan sambutan Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D.

Prof. Reini mengatakan bahwa acara ini dilaksanakan bukan semata-mata hanya untuk mengikuti amanat Undang-Undang, tetapi juga sebagai bentuk kepedulian kampus. Dia juga berharap agar langkah pencegahan dapat dilakukan lebih komprehensif, supaya dapat meminimalisir kasus kejahatan seksual. Kesadaran akan hal ini perlu ditingkatkan lebih lagi dengan mengasah kemampuan kita berempati.

Rektor ITB saat memberikan sambutan dalam acara sosialisasi kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Kekerasan Seksual di Kampus

Sementara itu, Prof. Sulis menjelaskan kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan kejahatan terhadap kesusilaan. Korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat dan trauma seumur hidup.

“Ada dua unsur kekerasan seksual, yakni ketiadaan consent dan adanya relasi kuasa. Namun, ketiadaan consent harus diabaikan apabila korban di bawah umur, sakit, tidak berdaya, mabuk, dan kondisi lain. Adanya relasi kuasa membuat terjadinya pemaksaan tanpa persetujuan korban sehingga dapat dianggap kejahatan criminal,” katanya.

Berdasarkan UU TPKS No. 12 Tahun 2022, terdapat 9 jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual non fisik seperti catwalking. Akan tetapi, pada kenyataannya, catwalking yang mungkin sering dirasakan oleh banyak perempuan khususnya mahasiswa sering dianggap sepele.

“Ada mahasiswa UI yang meninggal tertabrak kereta karena tidak mendengarkan suaranya. Hal tersebut terjadi karena korban sering menggunakan headphone supaya tidak mendengar catwalking yang sering dia terima apabila keluar kost,” ujarnya.

Selain itu, kekerasan seksual berupa pelecehan fisik juga banyak terjadi di lingkungan kampus. Pelakunya bisa siapa saja termasuk dosen. Banyak dosen yang memanfaatkan relasi kuasa untuk mengancam mahasiswa supaya tidak buka mulut. Bukan hanya dosen, teman dan pacar juga berpotensi sebagai pelaku.

Oleh karena itu, Prof. Sulis mengingatkan agar rekan-rekan mahasiswa dapat menjaga diri untuk tidak bersentuhan fisik secara berlebihan, tidak menuruti semua keinginan pacar, dan menghindari kontrol penuh dari mereka.

Korban pelecehan seksual sulit mendapatkan keadilan karena pada KUHP yang lama dijelaskan bahwa korban harus menyiapkan bukti-bukti sendiri. Hal ini tentunya akan menyulitkan mereka apabila tidak terdapat luka robek atau bekas lain yang bisa dijadikan bukti. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam UU TPKS disediakan hukum acara yang menyatakan kesaksian korban dapat dijadikan sebagai bukti. Oleh karena itu, keberadaan UU TPKS ini dapat disebut angin segar dalam penegakan keadilan bagi korban.

Rektor memberikan piagam penghargaan kepada narasumber.

Menurutnya yang menjadi perhatian kita saat ini adalah bagaimana meyakinkan para korban untuk berani bersuara. Apabila kekerasan seksual dibiarkan terjadi di kampus, maka universitas sebagai rumah produksi ilmu pengetahuan dan gerakan moral dalam masyarakat akan runtuh. Oleh karena itu, adalah upaya yang baik, setiap kampus membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual guna memberikan dampingan dan perlindungan kepada korban.

“Selamat buat Satgas PPKS ITB yang sudah mulai bekerja dan luar biasa berdedikasi orang-orangnya. Maka kita harus mendukungnya secara maksimal,” tutur Prof. Sulis.

Reporter: Erika Winfellina Sibarani (Matematika 2021)


scan for download