Studium Generale ITB: Mewujudkan Peradaban Berkelanjutan dalam Perspektif Ekologis

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

Foto: Adi Permana/Humas ITB

BANDUNG, itb.ac.id — KU4078 Studium Generale kembali digelar secara bauran dari Aula Barat ITB dengan mengangkat tema “Menata Ulang Kemajuan: Bagaimana Rekayasawan dan Ilmuwan Mendorong Revolusi Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan”.

Sesi kuliah tersebut disampaikan oleh David Sutasurya pada Rabu (15/3/2023). David sendiri saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) serta aktif dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Ia juga termasuk ke dalam jajaran tim ahli pada penyusunan berbagai kebijakan dan strategi terkait lingkungan hidup serta pembangunan berkelanjutan.

Dalam kuliah tersebut, David banyak menyoroti masalah perubahan iklim global yang mengakibatkan krisis ekologis di seluruh dunia. Fenomena perubahan iklim yang bermula dari pemanasan global merupakan isu besar yang kini tengah dihadapi bersama. Semakin masifnya perubahan iklim yang bermuara pada kerusakan lingkungan hidup telah membawa manusia jauh pada gagasan dan konsep-konsep baru yang lebih berkelanjutan dalam upaya mempertahankan lingkungan dan kehidupannya di masa depan.

“Tantangan kita saat ini adalah harus menurunkan beban yang kita berikan kepada bumi dan pada saat yang sama menaikkan kembali daya dukung alam kepada kondisi semula, sehingga akhirnya kita akan berada di bawah daya dukung alam. Dan itulah yang harus kita wariskan untuk diri kita sendiri serta anak cucu kita nanti,” ujarnya.

Lebih lanjut David menjelaskan bahwa manusia dan alam merupakan dua entitas yang saling terkait dan bergantung satu sama lain. Namun modernisasi yang terjadi telah memunculkan ilusi seakan-akan kehidupan manusia tidak terkait langsung dengan alam.

Krisis ekologis dalam bentuk kerusakan lingkungan terjadi secara gradual dan menimbulkan dampak kumulatif yang semakin besar layaknya efek bola salju. Secara sekilas mungkin kerusakan ekologis akibat kegiatan manusia tidak terlalu terasa, namun dalam jangka panjang dampaknya akan sangat terasa hingga pada taraf tertentu kerusakan yang terjadi sudah tidak mampu direhabilitasi.

Di sisi lain, manusia sering dihadapkan pada dilema moral yang rumit antara prioritas pemenuhan kebutuhan dengan kelestarian ekologis. Berbagai kegiatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya hampir semuanya akan berdampak pada penurunan nilai ekologis lingkungan.Ia mengutip sebuah data yang menunjukkan sebesar 62% emisi karbon penyebab gas rumah kaca bersumber dari rantai ekonomi, baik pada proses ekstraksi bahan baku, manufaktur, penggunaan produk, hingga pembuangan.

Foto: Hanifa Juliana

Persoalan ini menurut David muncul karena sistem ekonomi yang umumnya digunakan bersifat linear. Hal ini mengakibatkan material yang ada di hulu semakin habis sementara material di hilir akan rusak dan terbuang begitu saja. “Pertumbuhan produksi (untuk memenuhi kebutuhan manusia) berbanding lurus dengan kerusakan alam, karena semakin banyak yang diproduksi maka semakin banyak material yang mengalir dan semakin banyak pula kerusakan alam,” ungkap David.

Dalam menghadapi perubahan lingkungan ekologis sebesar ini, manusia harus mengambil sikap untuk menghadirkan inovasi-inovasi melalui revolusi cara berpikir. Selain itu, menurut David perubahan struktural pada tujuan pembangunan perlu diarahkan agar berorientasi pada kualitas hidup manusia alih-alih sekadar pembangunan berbasis kuantitas dan produktivitas.


Foto: Adi Permana/Humas ITB

“Peran kita di dalam dunia ilmu pengetahuan adalah mencapai ekoefisiensi, yaitu pencapaian kualitas hidup semaksimal mungkin dengan kerusakan alam seminimal mungkin. Itu yang harusnya menjadi indikator keberhasilan dari sebuah inovasi ke depannya,” pesan David di akhir sesi pemaparan.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)

scan for download