FTMD ITB dan Forum Dialog Nusantara Buka Diskusi tentang Teknologi Kedirgantaraan Nasional

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id – Beberapa tahun belakangan industri penerbangan cukup terpuruk. Pengurangan mobilitas saat pandemi COVID-19 mengakibatkan penurunan penggunaan transportasi udara. Selain itu, penerbangan juga menyumbang emisi karbon yang cukup besar sehingga diperlukan solusi untuk menguranginya.

Topik-topik penting ini menjadi bahan diskusi panel yang diadakan oleh Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB dan Forum Dialog Nusantara pada Jumat (18/11/2022). Diskusi yang mengusung tema “Penerapan Teknologi Masa Depan dalam Pengembangan Industri Dirgantara Nasional” ini diselenggarakan secara luring di Labtek II FTMD ITB serta secara daring melalui Zoom dan Youtube.

Agung Sarwana menjadi moderator dalam diskusi yang dihadiri oleh lima orang panelis ini. Mereka adalah Ilham Akbar Habibie yang mewakili industri manufaktur, Dekan FTMD ITB Tatacipta Dirgantara yang mewakili institusi pendidikan, Robertus Heru Triharjanto yang mewakili Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN, DKPPU Kemenhub Capt. Boy Mauludin yang mewakili pemerintah, dan Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Batara Silaban.

Menurut Ilham Habibie, ada tiga keluarga teknologi yang penting untuk dipelajari. Pertama terkait material, kita harus membayangkan untuk membuat pesawat dari material-material yang seluruhnya bisa kita olah kembali. Kedua, teknologi terkait energi terbarukan untuk mengurangi emisi, seperti penggunaan baterai atau biofuel sebagai bahan bakar pesawat.

Ilham Akbar Habibie

Selanjutnya poin ketiga adalah digitalisasi dalam simulasi. Adanya AI membuat kita bisa mengerti kelemahan-kelemahan dari suatu desain dan mensimulasikan penggunaannya baik dari segi penumpang maupun pilot. Selain itu, digital machining dalam pembuatan pesawat membuat kompleksitas dan waktu membuat pesawat berkurang sehingga lebih ramah lingkungan.

Electrical propulsion menjadi salah satu bentuk teknologi yang dicoba oleh PTDI untuk mengembangkan produk-produknya dalam menghadapi megatren. Tidak hanya itu, PTDI harus memiliki quality cost delivery yang optimal.

“Kami menyadari adanya teknologi 4.0, internet of things, augmented realty, dan yang lain ini menjadi salah satu kunci bagi kami untuk mengintegrasikan engineering dan manufacturing. Untuk area engineering, paperless engineering process sudah kita gunakan. Dari sisi manufacturing, kita dalam proses peremajaan mesin-mesin produksinya,” kata Batara. Harapannya, setelah mesin ini siap, PTDI memiliki engineering manufacturing process terintegrasi yang pada akhirnya bisa menghasilkan suatu proses yang efisien sehingga bisa melakukan produktivitas dengan baik.

Meski terlihat menjanjikan, masih ada limitasi dalam mendapatkan seluruh teknologi kunci ini. Salah satu hal yang dilakukan PTDI untuk mengatasinya adalah bekerja sama dengan Korea untuk pesawat tempur. Adapun riset terkait teknologi kunci penerbangan ini dilakukan oleh BRIN. Mereka baru saja menyelesaikan pengujian wind tunnel untuk konfigurasi sayap, tail, dan float N219A yang merupakan suatu proyek kolaborasi dengan PTDI.

“Ini perjalanan yang cukup panjang karena salah satu teknologi kunci yang perlu kita kuasai di Indonesia adalah composite material, dan ini sesuatu yang saat ini (membuat) kita harus banyak melakukan penelitian, banyak melakukan pengembangan,” kisah Robertus Heru.

Tahun ini BRIN juga melakukan penelitian dalam pengembangan avionik dengan tujuan agar kita bisa menguasai teknologi auto-pilot bagi pesawat tanpa awak, dan selanjutnya bisa diaplikasikan pada pesawat berawak. Menurutnya, teknologi avionik ini bernilai sangat tinggi pada global supply chain untuk aeronautics dan aerospace.

Dari segi pemerintah sebagai regulator, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara cukup aktif dalam menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan dunia internasional, termasuk ICAO dan Uni Eropa.

“Saat ini juga sedang dilakukan training-training dalam rangka meng-update teknologi yang saat ini berkembang di aviasi. Sementara untuk spesialis teknologi mesin, pemerintah bekerja sama dengan manufaktur-manufaktur dari luar untuk mendapatkan pelatihan dalam melakukan proses validasi dan sertifikasi di Indonesia,” jelas Capt. Boy.

Minimnya perguruan tinggi yang memiliki jurusan Teknik Dirgantara di Indonesia dan semakin meningkatkan kebutuhan SDM kedirgantaraan tentu menjadi sebuah tantangan. Dengan demikian, ITB berusaha mempersiapkan SDM yang dapat menyesuaikan kebutuhan industri. Hal ini dilakukan melalui pemberian berbagai proyek desain untuk problem solving, dasar-dasar keilmuan engineering, serta merdeka belajar terpimpin berupa proyek-proyek independen bagi mahasiswa. Selain itu, FTMD ITB juga melakukan penelitian yang mengarah kepada decarbonization dan digitalization.

Prof. Tata Cipta Dirgantara, Dekan FTMD ITB

“Misalnya decarbonization terkait perancangan pesawat: bagaimana material dan strukturnya semakin ringan menggunakan teknologi terbaru seperti 3D printing, dari yang dulu bentuknya nggak mungkin jadi mungkin, bentuk pesawatnya semakin berkurang hambatannya dengan menggunakan teknologi komputasi yang baik. Kita sekarang menggunakan AI dan ML untuk melakukan optimasi bentuk. Jadi digitalisasi itu sudah kita kerjakan di sini. Kita juga mengembangkan bahan bakar alternatif bioavtur, high altitude long endurance menggunakan solar panel, motor listrik. Dari sisi perawatan: digital twin, robot untuk perawatan,” tutur Tatacipta Dirgantara.

Seperti yang disampaikan oleh Dekan FTMD ITB, dialog ini diharapkan bisa memberikan wawasan dan hasil yang bermanfaat, juga menarik ketertarikan bagi berbagai pemangku kepentingan untuk bisa menjadi bagian dari strategi dan kebijakan besar dalam membangun kedirgantaraan Indonesia.

Reporter: Ristania Putri Wahyudi (Matematika, 2019)


scan for download