Alumni ITB Membahas Sistem Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan pada Konteks Pedesaan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id--Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia setiap harinya seringkali menghasilkan sampah baik berupa sampah yang mudah terurai (organik) maupun yang sulit terurai (nonorganik). Kebanyakan sampah tidak dikelola dengan baik sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti mencemari lingkungan dan menimbulkan penyakit.

Mohamad Bijaksana Junerosano, Managing Director of Waste4Change sekaligus alumni Teknik Lingkungan ITB lulusan 2006, membahas sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dalam acara Karsa Loka Volume 003. Webinar tersebut diselenggarakan pada Jumat (15/01/2021) yang dipandu oleh Meirina Triharini. Karsa Loka sendiri merupakan acara bulanan dan salah satu bentuk kerja sama LPPM ITB bersama Design Ethnography Lab FSRD ITB untuk menggemakan konsep, pengalaman, dan peran ITB dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.

Sano, panggilan Mohamad Bijaksana Junerosano, membahas banyaknya sampah yang dihasilkan di Indonesia setiap harinya. Setiap hari sampah yang dihasilkan di Indonesia tidak kurang dari 175.000 ton. Jumlah yang besar ini mengalami peningkatan secara eksponensial sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk Indonesia. Menurut Sano, permasalah utamanya adalah sampah yang dihasilkan tersebut tidak dipilah. Sekitar 75% sampah pun hanya menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau landfill.


Dampak Sampah yang Tidak Dikelola dengan Baik

Tumpukan sampah sangat berbahaya. Sampah organik yang membusuk menghasilkan gas metana. Gas ini diklaim dua puluh kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Salah satu tragedi yang merenggut lebih dari seratus nyawa akibat tumpukan sampah adalah longsor sampah di TPA Leuwigajah. “Kita tentu tidak ingin tragedi ini terulang kembali dan merenggut nyawa saudara-saudara kita,” ujarnya.

Permasalahan pengelolaan sampah tidak hanya terjadi di kota tetapi juga di desa. Di desa, sampah biasanya lebih sering dibakar yang nantinya justru dapat membahayakan kesehatan manusia akibat asap pembakaran tersebut. Sampah yang dibakar ini dapat menghasilkan senyawa kimia yang berbahaya yang bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) yakni dioksin.


“Dioksin masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Oleh karena itu, asap dari pembakaran sampah sangat berbahaya apabila terhirup. Selain dibakar, sampah di perdesaan biasanya dikubur atau dibuang ke sungai/laut. Perilaku ini dapat menyebabkan gangguan ekosistem, bencana alam seperti banjir, berkurangnya air bersih, hingga timbulnya berbagai penyakit,” jelasnya.

Menciptakan Tata Kelola Persampahan yang Berkelanjutan

Kepada para peserta webinar, Sano mengajak supaya sebisa mungkin tidak menghasilkan sampah dan mulai mengubah paradigma. “Tolong dicatat, masalah sampah bukan masalah teknologi. Sedangkan waktu kita habis untuk membahas teknis,” tutur Sano.

Menurut Founder of Greeneration Foundation dan U-Green ITB ini, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan tata kelola sampah yang berkelanjutan yakni regulasi dan instrumen kebijakan harus dilaksanakan, kemitraan, dan terdapat pembiayaan. Apabila pengelolaan sampah diibaratkan menanam pohon, maka penegakan peraturan dan regulasi adalah tanahnya sedangkan kemitraan dan pembiayaan diibaratkan sebagai air dan matahari. Ketiganya harus ada untuk menciptakan tata kelola sampah yang baik.

Di desa, Dana Desa dapat dimanfaatkan untuk menciptakan tata kelola sampah. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018, pengelolaan sampah di desa dapat berupa pengadaan Tempat Pembuangan Sementara, gerobak sampah, mesin pengelolaan sampah, dan masih banyak lagi.

“Saya sangat mendorong untuk kita mengadvokasi agar desa-desa baik itu warganya, perangkat desanya, melihat [dana desa] ini sebagai sumber daya. Karena dana ini sudah ada, sampahnya tiap hari dihasilkan sebagai material. Kita bangunlah solusi yang betul-betul bisa menjadi praktik yang berkelanjutan,” ujar Sano. Sano juga memberikan contoh program pengelolaan sampah di desa yang sudah berjalan dengan baik seperti Desa Mandiri Sampah dan Panggung Lestari.

Sano pun menambahkan hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka menciptakan tata kelola sampah berkelanjutan di desa seperti mendorong peraturan adat/budaya/agam, mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal, menciptakan inovasi desentralisasi/local circular economy, dan menerapkan reverse logistic.

Reporter: Restu Lestari Wulan Utami (Biologi, 2017)


scan for download