Angga Dwiartama: Actor-Network Theory sebagai Solusi Ketahanan Pangan

Oleh Neli Syahida

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Meskipun kaya dengan hasil buminya, Indonesia tetap memiliki masalah dalam manajemen sumber daya hayati dan ketahanan pangannya. Beberapa pandangan mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia mengalihkan penanaman tanaman pangan utama (padi) menjadi jenis tanaman lainnya seperti kelapa sawit, yang dapat diekspor dan menghasilkan pemasukan negara yang tinggi, sehingga negara dapat mengimpor beras dari luar negeri seperti Thailand. Memang, jika  berkaca kepada negara-negara seperti Swiss dan Belanda yang memiliki sumber daya hayati minim, ketahanan pangan tidak selamanya dapat diraih hanya dengan hasil bumi sendiri, namun kerja sama dengan negara lain juga memiliki andil yang besar. Akan tetapi, apakah hal tersebut dapat diterapkan di Indonesia yang memiliki sumber daya hayati yang berlimpah?

Actor-Network Theory

Angga Dwiartama, Ph.D., Dosen Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, memaparkan sebuah teori yang mampu menjelaskan hal ini, yaitu Actor-Network Theory (ANT). ANT adalah teori yang mengaitkan anatra sosiologi, antropologi, dan ekologi.  Teori ini membahas mengenai cara berpikir, tentang bagaimana seseorang memandang benda tidak hanya sebatas benda, tapi juga melihat bahwa di balik sebuah benda ada jaringan sosial yang mampu melahirkan benda tersebut. Misalnya, di balik sebuah pistol  tersimpan banyak network yang dilibatkan sepeti pihak penyedia bahan pembuat pistol (bahan mentah hingga bahan setengah jadi), peneliti-peneliti yang membahas aspek fisika dari sebuah pistol, pabrik pistol, hingga sang pengguna pistol dan fakta bahwa keberadaan pistol tersebutlah yang menimbulkan niat membunuh pada seseorang.

ANT juga merupakan salah satu perspekif atau cara pandang yang digunakan untuk memahami fenomena resilience yakni fenomena bolak-balik di alam, yang mengilhami lahirnya pameo "sejarah selalu berulang". Resilience pada hakikatnya mirip dengan suksesi sebuah ekosistem kembali ke bentuk semula. Namun ancamannya selalu ada dalam tiap tahapan proses. Untuk memahami fenomena ini, ada 3 perspektif yang dapat digunakan:  perspektif sistem, perspektif aktor manusia, dan ANT. ANT menawarkan sebuah pandangan yang komplet terhadap sistem sosial-ekologi melalui dua hal. Pertama, resilience dipandang sebagai proses yang sedang terjadi. Sedangkan, yang kedua adalah dengan memandang tidak hanya aspek manusia yang terlibat di dalamnya, namun juga aspek non manusia.

Angga, yang menempuh pendidikan S3 di The Centre for Sustainability: Agriculture, Food, Energy, Environment (CSAFE), Program Studi Geografi, Universitas Otago (Selandia Baru), menyaksikan bahwa kiwi adalah salah satu bahan pangan yang menjadi identitas Selandia Baru. Kiwi, yang asalnya dari China, berhasil menjadi kebanggaan di Selandia Baru yang pada tahun 2006, ekspor kiwifruit mencapai 60% dari total ekspor buah dan menyumbangkan 30% pemasukan dari ekspor hortikultura negara. Sebelumnya, pada akhir 1980 hingga awal 1990, terjadi krisis yang disebabkan oleh kombinasi deregulasi ekonomi. Kebijakan tersebut merupkan penetapan anti-dumping dari California yang mengakibatkan kelebihan pasokan dan harga yang turun, dan deteksi residu pestisida pada buah yang diekspor ke Italia. Untuk menghadapinya, pada 1997 didirikan lembaga ZESPRI International dan pada tahun selanjutnya kiwiSelandia Baru di-rebrand menjadi komoditas ramah lingkungan dan 100% mengikuti penanganan hama terintegrasi yang lebih aman.

Hal ini analog dengan kedudukan padi di Indonesia, yang telah mendarah daging sebagai makanan pokok, budaya, bahkan identitas. Konsumsi padi di Indonesia telah meningkat sejak tahun 1970, dan mengisi 47% dari total pemasukan kalori rakyat Indonesia. Padi telah ditanam sejak zaman dahulu, dan mengalami banyak permasalahan diakibatkan oleh evolusi, harga yang naik-turun, kondisi sosial-politik, dan masalah lingkungan seperti El Nino. Namun terkadang kebangkitan pangan di Indonesia tidak secepat negara lainnya. Untuk itu, diperlukan cara pandang ala ANT yang tidak mengesampingkan sebuah aspek nonhuman dari aspek utama.

"Sesungguhnya, ANT dapat menjadi solusi masalah ketahanan pangan, namun hanya sebatas solusi teoretis saja. ANT berperan dalam bagaimana seharusnya pemerintah memasang kacamata. Berdasarkan perbandingan di New Zealand tadi, meskipun mungkin masih aneh di Indonesia, tetapi sesungguhnya pemerintah New Zealand sangat menghargai riset, termasuk riset sosial. Bisa dikatakan, disebabkan hal tersebut mereka jadi lebih maju," terang Angga saat ditanya mengenai kontribusi Teori Aktor-Network dalam mengatasi masalah pangan di Indonesia. Beliau berharap kedepannya sebelum membuat kebijakan penanaman, pemerintah mampu mengenali karakteristik suatu organisme yang meliputi kondisi habitat yang cocok untuk tumbuh, nutrisi yang diperlukan, dan kondisi jaringan sosial dan kebutuhan masyarakat.

Oleh: Muti'ah Nurul Jihadah (ITB Journalist Apprentice 2015


scan for download