Diskusi MLI: Kupas Tuntas Permasalahan Dualisme

Oleh Bayu Rian Ardiyansyah

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Dalam kehidupan ini terdapat lautan dualisme yang tanpa disadari ternyata mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Untuk mengupas hal tersebut, Moedomo Learning Initiatives (MLI) bekerjasama dengan UPT Perpustakaan Pusat ITB kembali menggelar diskusi bulanan yang kali ini bertajuk "Menyeberangi Sepuluh Dualisme (atau lebih)" pada Rabu (29/04/15) di ruang Serbaguna Gedung Perpustakaan ITB. Diskusi MLI kali ini menghadirkan pembicara Nirwan Dewanto, seorang pengggiat sastra dan penyelia kesenian.

Berdasarkan definisi, dualisme merupakan satu fenomena yang selalu terdiri dari dua bagian yang keberadaannya terlihat saling melengkapi namun sebenarnya keduanya saling bertentangan. Dualisme dapat ditemui di berbagai aspek. Semisal dalam ekonomi, pusat perbelanjaan di kota modern menjadi contoh akan dualisme sektor ekonomi formal dan informal. Sementara itu, dalam ruang kelas di sekolah-sekolah juga terdapat dualisme, yakni antara pendidikan ilmu sains (rasionalitas) dan pembelajaran nilai-nilai (irasionalitas). Dalam bidang hukum pun juga terdapat dualisme antara hukum universal yang diterima secara umum dan hukum komunitarian yang hanya berlaku berdasarkan ketentuan adat maupun agama.

"Kalau kita menggabungkan kesemua pertentangan dalam dualisme tersebut untuk disejajarkan, maka hasilnya adalah berbagai lapisan moderasi," tutur Nirwan. "Moderasi hanya akan menghasilkan kekacauan karena kita mencampuradukan dua bagian tersebut tanpa mendapatkan aspek terbaik dari masing-masing bagian. Masalahnya, sebagian besar masyarakat kita terlalu sering berlarut-larut dalam melakukan moderasi hingga akhirnya kita hanya berada dalam mediokritas," tutur lulusan Teknik Geologi ITB ini.

Lebih lanjut, Nirwan mencontohkan bahwa ada jalan lebih baik dalam menghadapi berbagai dualisme tersebut, yakni melalui kombinasi untuk bisa melahirkan sistem yang lebih baik. Contohnya pernah diterapkan oleh Ki Hajar Dewantoro dengan sistem pendidikan Taman Siswa yang mengombinasikan pendidikan rasional dengan penanaman nilai di dalam sekolah. Taman Siswa berhasil membentuk pendidikan rasa yang menonjolkan kesenian dan keterampilan dengan tetap mengandalkan rasionalitas. Hasilnya muncul konsep pendidikan bergabung dengan kebudayaan yang cocok dengan Indonesia. Sayangnya, sistem Taman Siswa tidak mampu bertahan dari perubahan di kehidupan modern saat ini.

Di akhir diskusi, Nirwan menjelaskan bahwa hanya dengan mencapai tingkat perubahan radikal yang tinggi, maka tidak akan ada kemajuan, terlebih bila moderasi telah menjadi kebudayaan yang jamak di masyarakat. "Hanya dengan mencapai radikalisme yang tinggi pada bidang yang telah kita pilih, maka kita baru bisa maju," tutup Nirwan.


scan for download