Weather Climate and Colloqium: Tingkatkan Akurasi Proyeksi Iklim dengan Model RCM

Oleh Annisa Mienda

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id-Laboratorium Analisis Meteorologi ITB menyelenggarakan kuliah umum bertajuk Weather and Climate Colloqium (WeaCColl) pada Kamis (14/08/14). Kuliah umum ini mengundang Dr. Hiroyuki Kusaka, Associate Professor dari Graduate School of Life and Environmental Sciences, Tsukuba University sebagai pembicara. Acara yang digelar di Ruang Seminar Profesor Goenarso, Laboratorium Teknologi XI ITB ini merupakan kuliah umum terbuka yang tak hanya dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ITB dari bidang sains atmosfer, namun juga para ahli dari LAPAN dan BMKG.
 
Topik yang diangkat pada kuliah umum tersebut ada kaitannya dengan isu perubahan iklim yang kini sedang hangat diperbincangkan. Menurut I Dewa Gede A. Junaedhi, a Laboratorium Annggotaalisis Meteorologi ITB, isu mengenai perubahan iklim mulanya berawal dari penelitian-penelitian scientific. Penelitian-penelitian tersebut membuat proyeksi iklim di masa depan pada skala global menggunakan model. Akan tetapi, kemampuan model yang digunakan masih terbatas dan hanya dapat merepresentasikan area yang sangat luas. Akibatnya, hasil dari model tersebut menjadi kurang mendetail dan akurat. Guna mendapatkan hasil yang lebih mendetail, dilakukanlah teknik downscaling secara dinamik dengan menggunakan Regional Climate Model (RCM). Dengan RCM, area model dapat diperkecil dan resolusi dapat ditingkatkan sehingga hasil prediksi menjadi lebih mendetail dan akurat. Salah satu jenis model RCM yang kini telah banyak digunakan adalah Weather Research and Forecasting (WRF).

Pada kuliah umum yang berlangsung selama dua jam tersebut, Dr. Hiroyuki Kusaka melakukan pembahasan secara mendalam mengenai RCM beresolusi tinggi yang dikaitkan dengan pola presipitasi di daerah pesisir dan perkotaan di Indonesia. Pada model RCMnya, Dr. Hiroyuki mengikutsertakan keberadaan bangunan sehingga diharapkan prediksi cuaca atau proyeksi iklim di daerah tersebut menjadi lebih akurat. Prediksi cuaca atau proyeksi iklim dari model RCM ini kemudian dapat dimanfaatkan sebagai input untuk model lain, salah satunya model banjir. Hasilnya, pola presipitasi, jumlah air yang terserap, sekaligus efek peningkatan presipitasi akibat urban heat island dapat terungkap. Pada intinya, hal yang ditekankan pada kuliah umum tersebut adalah cara meningkatkan akurasi prediksi presipitasi di Indonesia dengan mengikutsertakan keberadaan gedung dalam perhitungan model. 
 
Selain model banjir, hasil dari RCM juga dapat dijadikan input untuk berbagai model lainnya seperti hidrologi, gelombang, dan pertanian. Kini, penggunaan RCM juga banyak diarahkan untuk memperkirakan dampak lingkungan yang dapat terjadi akibat aktivitas manusia, misalnya dampak pembangunan terhadap temperatur dan curah hujan. Apabila dimodelkan secara dinamik, hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan banjir hingga digunakan untuk perencanaan wilayah dan kota.
 
Banyaknya manfaat RCM terutama WRF menjadikan model ini telah diaplikasikan hampir di seluruh dunia, tak terkecuali negara-negara ASEAN. Banyak juga Negara-negara maju yang telah menjadi pengembang model ini, diantaranya Jepang, Korea, Argentina, dan Amerika. Meski demikian, hingga kini Indonesia belum sampai ke tahap pengembang, melainkan masih menjadi konsumen WRF. Diharapkan suatu saat nanti Indonesia juga ikut menjadi salah satu pengembang model WRF yang telah mendunia ini


Sumber gambar: waterinstitute.ufl.edu

scan for download