Satu Hari Bersama Sang Legenda: Dongeng Arsitek Legendaris

Oleh kikywikantari

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Dua orang legenda Arsitektur ITB, Prof. Ir. Slamet Wirasonjaya. MLA dan Prof. Ir. Moch. Danisworo, M. Arch, MUP. Ph.D, bercerita mengenai kehidupan akademis mereka hingga mencapai kesuksesan dalam bidangnya kepada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas di Bandung, pada hari Sabtu (16/10/10) di Galeri Arsitektur, Labtek IXB ITB.

 

Dalam Studium Generale yang bertajuk ''A Day With Legends: Architect's Tale'' ini, Prof. Ir. Slamet Wirasonjaya. MLA, yang lebih dikenal dengan nama panggilan SLW, dan Prof. Ir. Moch. Danisworo, M. Arch, MUP. Ph.D, masing-masing menceritakan bagaimana ketika mereka baru menyelesaikan tahap pendidikan sarjana di ITB dan kemudian berkarier hingga mencapai masa kejayaan masing-masing.


Prof. Danisworo menambahkan materi mengenai pengetahuan urban desain, mengingat beliau telah merintis karier selama 40 tahun sebagai desainer urban. Salah satunya adalah pengalaman beliau dalam memperjuangkan jalur pedestrian di Jl. Thamrin, Jakarta untuk diperlebar dan dikembalikan fungsinya sebagai jalur pejalan kaki, mengingat Jl. Thamrin adalah salah satu ruas jalan tersibuk pada hari kerja (Senin-Jumat) di DKI Jakarta. Dalam pembicaraannya, Prof. Danisworo mengatakan bahwa arsitek adalah mediator yang mampu mengkompromikan antara permintaan klien dengan peraturan pemerintah. Selain itu, Prof. Danisworo berpesan pada peserta Kuliah Umum yang mayoritas masih mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa Arsitektur untuk menjadi orang yang didengar oleh pengambil keputusan, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pihak swasta dan pemerintah karena pada kenyataan dalam dunia pekerjaan nanti, pasti kedua pihak tersebut yang akan mengeluarkan keputusan akhir dalam setiap kebijakan.


Kemudian, SLW bercerita mengenai potret seorang dosen, cerminan terhadap pengalamannya selama menjadi dosen di prodi Arsitektur ITB. Menurut beliau, seorang dosen itu harus membuka pikiran, bukan sekedar menanamkan pikiran kepada mahasiswanya. Kemudian, seharusnya seorang dosen tidak khawatir pada mahasiswanya yang tidak acuh, tetapi khawatir pada yang selalu mengawasi tiap perkataan dosennya. Sehingga dalam hal ini, mahasiswa dan dosen sama-sama belajar untuk saling mengkoreksi.


Selain itu, SLW juga memberi potret dirinya sebagai seorang arsitek, seorang arsitek lansekap, perencana lahan hingga menjadi seorang arsitek muslim. Di akhir pembicaraannya, SLW memberi pesan yang ia namakan ''Falsafah Pohon'', yang berisi: Pohon adalah sebuah kenyataan. Bayangan adalah pikiran. Karakter ibarat sebuah pohon dan reputasi ibarat sebuah bayangan.  Selagi kita sedang naik pohon,  jangan berpikir untuk turun. Jangan takut pada bayangan karena dibalik bayangan pasti ada cahaya. Inti dari pesan tersebut adalah ketika kita sedang mencapai puncak kesuksesan dan popularitas, hendaknya kita tetap pada karakter kita yang sebenarnya, karena reputasi hanyalah suatu hal yang bersifat sementara.


Hal itulah yang selalu ditekankan SLW dalam hidupnya. Reputasi yang ia raih dalam kariernya setelah merancang Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB), Monumen Jogja Kembali (Monjali), Perpustakaan Pusat ITB, dan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, tidak membuatnya merasa tinggi hati dan beliau tidak segan membagi ilmunya kepada mahasiswa-mahasiswa untuk menjadi bekal ketika mereka menghadapi dunia pekerjaan nanti.


Kedua arsitek legendaris tersebut sukses membuat tiga jam kuliah umum yang dihadiri pula oleh dosen-dosen pengajar prodi Arsitektur ITB, tidak membosankan dan sangat memberi bekal bagi peserta kuliah umum yang mayoritas adalah mahasiswa Arsitektur tingkat sarjana, ketika merintis karier di bidang arsitek nanti.


scan for download