Ahli Tsunami ITB Lakukan Penelitian di Lokasi Tsunami Palu

Oleh Fivien Nur Savitri, ST, MT

Editor -


PALU, itb.ac.id -- Ahli Tsunami Dr. Eng. Hamzah Latief dari Kelompok Keahlian Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung melakukan pengamatan langsung ke lokasi tsunami yang terjadi di Palu dan sekitarnya, Rabu (10/10/2018). Dalam pengamatan tersebut ditemukan beberapa data mengenai peristiwa tsunami tersebut.
Seperti diketahui, gempa bumi magnitudo 7,4 disertai tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya pada 28 September lalu, telah mengakibatkan bangunan rusak dan menelan ribuan korban jiwa maupun luka-luka. Banyak orang dinyatakan hilang pasca-bencana tersebut.

Bersama tim ITB, Pusat Studi Gempabumi Nasional (Pusgen), LIPI, dan Kementrian PUPR, Dr. Hamzah meninjau beberapa lokasi kejadian tsunami dari mulai Pantai Watusepu, Buluri dan Talise. Beberapa warga yang menjadi saksi mata langsung kejadian berhasil ditemui dan diwawancara.  

Dr. Hamzah mengatakan, setelah menemui beberapa warga di lokasi tersebut, mereka melihat langsung bahwa tsunami terjadi dalam waktu yang singkat dan tiba-tiba setelah gempa. "Tsunami ini datangnya secara sangat tiba-tiba, setelah gempa tersebut. Tsunami ini menjalar ke segala arah, 6 menit kemudian tercatat di Pantoloan berdasarkan pasang surut dan juga 4 menit di daerah watusepu," ungkapnya.

Ia juga melakukan pengukuran ketinggian tsunami di beberapa lokasi seperti di bawah jembatan Punulele Kota Palu yang ambruk, di tempat itu ketinggian air bisa diketahui dari sisa-sisa sampah yang menyangkut di dinding tembok jembatan dengan ketinggian sampai lima meter. Di beberapa lokasi lain, ketinggian tsunami bervariasi ada yang tiga meter dan empat meter.

"Lokasi kejadian tsunami yang parah berada di Talise, lebih dari 200 mayat ditemukan," kata Dr. Hamzah. Baik di titik tertinggi maupun titik terendah, tsunami menerjang pantai, menghantam permukiman, hingga gedung-gedung dan fasilitas umum.


Proses terjadinya tsunami tersebut disebutkan Dr. Hamzah, diawali dengan strike slip Patahan Palu Koro, sehingga terjadi gempa. Akibat guncangan tersebut terjadi longsoran sedimen di bawah air laut. Longsoran sedimen tersebut berasal dari sungai yang membawa sedimen diendapkan di muara mulut sungai kemudian saat lempeng bergerak dan menimbulkan getaran sedimen tersebut meluncur ke bawah jatuh turun ke bawah sehingga menimpulkan tsunami.

"Teluk palu ini punya kemiringan dari dangkal sampai ke kedalaman 500 meter. Karena faktor tersebut (longsoran sedimen) telah menambah kenaikan tinggi muka air laut. Tapi penyebab longsoran sedimen belum jelas dari Pantai Talise atau dari mana," ujarnya.

Dr. Hamzah juga melihat, bahwa ada penurunan muka tanah terutama di daerah jembatan Panulele. Hal yang sama juga terjadi di masjid terapung di pinggir laut yang sekarang terendah air. "Kemungkinan di sana juga terjadi laterap speding," katanya.

Sesar Palu Koro dikatakan sangat aktif dengan pergerakan sekitar 44 milimeter per tahun. Banyak studi atau penelitian tentang sesar tersebut telah menjadi disertasi. Patahan Palu Koro merupakan salah satu patahan aktif di Indonesia yang memotong wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

ITB sendiri memulai fokus penelitian tentang sesar Palu Koro pada 2012, hasilnya telah disampaikan kepada Pemerintah Daerah setempat, BNPB dan staf ahli kepresidenan. Secara historis, kata Dr. Hamzah penduduk setempat sudah mengetahui tentang gempa, tsunami dan likuifaksi dengan bahasa-bahasa lokal di sana.

"Setelah survei ini, perlu dilakukan kajian pemetaan bahaya tsunami dan dipertimbangkan dalam penataan ruang. Dibangun suatu bangunan yang akrab terhadap bahaya tsunami.

Reporter : Adi Permana

scan for download