Pengolahan Biomassa Mikroalga Sebagai Langkah Awal Indonesia Mandiri Energi

Oleh Adhitia Gesar Hanafi

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia yang meroket karena jumlah permintaan tinggi tidak sebanding dengan persediaan yang terbatas menyebabkan bangsa ini berada dalam fase krisis energi. Badai krisis energi yang menerpa Indonesia menuntut anak bangsa untuk menemukan solusi efektif bagi permasalahan ini. Berangkat dari urgensi inilah Prof. Dr. Zeily Nurachman, dosen Program Studi Kimia ITB, terdorong untuk mengembangkan mikroalga sebagai sumber energi alternatif. 

Biodiesel Mikroalga Alternatif Solar Fosil

Produksi minyak dari alga yang mencapai delapan puluh ribu liter/hektar kultur/tahun merupakan jumlah yang lebih tinggi dari produksi minyak sawit. Minyak alga diolah menjadi biodiesel. Teknologi pembuatan biodiesel mikroalga sebenarnya relatif mudah. Kultur alga hanya perlu ditanam dalam media cair dalam botol berukuran sedang yang dialiri udara dan disinari. Selanjutnya, alga diekstrak dengan pelarut jika masih dalam skala laboraturium, namun ekstraksi dilakukan secara mekanik oleh mesin atau dipanaskan hingga minyaknya keluar untuk produksi skala besar. Minyak tersebut kemudian diubah menjadi biodiesel siap pakai melalui reaksi transesterifikasi.

Layaknya industri hulu perminyakan yang memerlukan infrastruktur untuk mengambil minyak dari dalam bumi, pembiakkan mikroalga untuk kebutuhan biodiesel juga memerlukan infrastruktur dan lahan. Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia memberi dukungan terhadap penelitian biodiesel alga melalui pemberian rig-rig bekas untuk digunakan sebagai tempat penyimpanan kultur. Lokasi pengembangan mikroalga ditargetkan seluas dua juta hektar laut Indonesia dengan penempatan infrastuktur di pulau-pulau terluar Indonesia. "Lima ratus liter biodiesel per hari bisa untuk membangkitkan listrik satu pulau kecil. Jika ada listrik di sana produktivitas akan jalan dan memudahkan akses pemerintah untuk menjangkau seluruh penjuru Indonesia," terang Zeily. "Total laut Indonesia enam ratus juta hektar, dipakai dua juta hektar, kapal masih bisa lewat kok," tambahnya ringan.

 

Konsep Energi Zero Waste dari Mikroalga

Tidak seperti industri pada umumnya yang membuang limbah, limbah sampingan hasil olahan mikroalga berupa pigmen dan cangkang alga diolah untuk menghasilkan produk lain bernilai jual tinggi dengan manfaat berbeda. Limbah berupa pigmen yang merupakan zat warna alga yang mengandung beta-karoten dan klorofil untuk fotosintesis, yakni proses penangkapan sinar matahari untuk mengubah karbondioksida dan air menjadi makanan dan energi bagi tanaman, dapat digunakan sebagai pemeka sel surya. Zat beta-karoten yang ditempelkan pada sel surya terbukti menghasilkan arus listrik di permukaan sel tersebut sehingga dapat digunakan sebagai antena penangkap energi foton pada sel surya. Bangunan yang jendela-jendelanya dilapisi dengan beta-karoten hasil olahan limbah alga bisa difungsikan sebagai  power house

Selain beta-karoten, zat klorofil juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena bisa diolah menjadi bahan kosmetik ataupun klorofil kemasan untuk dijual secara komersial. Klorofil A murni misalnya, mempunyai nilai jual mencapai tujuh puluh juta per miligramnya. Klorofil A digunakan untuk Photo Dynamic Therapy (PDT), yakni pengobatan kanker dengan menginjeksikan klorofil ke penderita kanker. Tubuh penderita kemudian disinari sehingga oksigen di sekitar berubah menjadi oksigen radikal yang akan membunuh sel kanker. Limbah lain berupa cangkang alga jenis Navicula Sp. dapat digunakan sebagai bahan nanobiosilika dan nanomaterial untuk katalis berbasis ziolit

Besarnya potensi pasar untuk olahan limbah alga merupakan suatu peluang industri tambahan selain pengolahan bahan bakar biodiesel mikroalga. "Jika produksi dilakukan dalam skala besar, volume limbah banyak, serta produksi minyak dan limbah berjalan, kita dapat menjual produk murah yang dibutuhkan banyak orang yang otomatis membuka industri dan lapangan kerja baru," ungkap Zeily.

 

Indonesia Mandiri Energi dan Ekonomi Bukan Mimpi Kosong

Kecenderungan Indonesia untuk bergantung dengan asing berdampak pada lemahnya kontrol terhadap beberapa aspek vital negara seperti manajemen sumber daya dan ekonomi. Padahal jika melihat dari sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, secara teoritis Indonesia harusnya mampu untuk bersaing dengan negara-negara maju. Alasan klasik seperti minimnya modal untuk memulai suatu industri bukan berarti tanah air dijual ke asing.

Diakui Zeily, proses inisiasi pengembangan mikroalga ini butuh dana besar dan tidak menutup kemungkinan butuh investor asing. Namun beliau menggarisbawahi bahwa perusahaan nasional tetap pemain utama dan pemegang kontrol penuh atas industri ini kedepannya. Oleh karena itu, dukungan pemerintah maupun masyarakat diperlukan. Jika konsisten dalam operasionalnya, bukan tidak mungkin dalam kurun waktu lima belas tahun ke depan Indonesia mampu mandiri energi bahkan menjadi eksportir global. "Jangan dilihat cuma dari botol kecil saat ini, tapi lihat prospek mendatangnya," tutup Zeily optimis.

 

Dokumentasi: narasumber
Oleh: Fatimah Larassaty Putri Pratami - ITB Journalist Apprentice 2015

 


scan for download