Sambung Asa Pasien Penyandang Cacat Melalui Kursi Roda Robotik

Oleh Ahmad Furqan Hala

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Ilmu pengetahuan sejatinya ada untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Konsep inilah yang diterapkan oleh Dr. Suprijanto S.T., M.T., pada pengembangan instrumen medis untuk membantu pasien yang tidak dapat melakukan perintah motorik sebagaimana mestinya. Pasien pascastroke yang mengalami kelumpuhan, mengalami gangguan syaraf motorik akibat kecelakaan, ataupun yang menjalani amputasi adalah contoh pasien yang bagian motoriknya tidak dapat menjalankan perintah dari otak. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen medis yang mampu mendispensasi keadaan ini dan membantu proses terapi, seperti kursi roda yang mampu bergerak sesuai perintah otak secara langsung tanpa bantuan gerak oleh anggota tubuh lainnya.
Meski awalnya setengah hati, dosen Teknik Fisika ITB yang akrab disapa Supri ini menyadari bahwa instrumentasi medis adalah bidang yang diperlukan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan ajakan penelitian dari profesor asal TU Delft, Belanda sehingga Supri terdorong untuk mendalami bidang tersebut. Setelah berkecimpung selama beberapa tahun, bidang ini dirasa Supri menarik dan beliau semakin tertantang untuk mendalaminya demi kontribusi positif untuk Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Otak sebagai Pusat Kontrol Aktivitas Makhluk Hidup
Otak adalah pusat pengaturan seluruh aktivitas tubuh, baik sadar maupun tidak sadar. Selain terbagi menjadi otak kanan dan kiri, otak juga memiliki bagian yang disebut lobus, yakni sekelompok bagian dengan fungsi khusus terkait respon rangsangan. Secara umum, bagian yang mengatur kemampuan motorik adalah lobus frontal, sentral, dan parietal. Peran vital otak dalam kontrol motorik tubuh inilah yang coba dimanfaatkan oleh Supri dalam pengembangan instrumentasi medis. Beliau bekerjasama dengan beberapa mahasiswa sarjana Teknik Fisika yang berkolaborasi dengan mahasiswa dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Sains (SITH-S) dalam penelitiannya ini.

Untuk mentransmisikan pesan yang nantinya diwujudkan dalam aktivitas tubuh, otak menggunakan impuls listrik yang terdeteksi dalam wujud sinyal yang disebut Electroencephalograph Signal atau sinyal EEG. Sinyal-sinyal dari otak dikelompokkan berdasarkan rentang frekuensi dan bagian otak tempatnya dihasilkan. Sinyal impuls untuk kegiatan motorik disebut µ-rhythm yang berada pada interval 8-13 mikroHertz (µHz). Sinyal inilah yang dijadikan perintah pada instrumentasi medis.

Saat ini banyak berkembang sistem kontrol dengan memanfaatkan suara, tiupan atau kedipan. Kontrol sistem secara langsung dengan memanfaatkan sinyal otak seperti pada kursi roda disebut Brain Computer Interface (BCI), yang merupakan sistem kontrol paling sulit. Sinyal berorde mikrovolt (µV) yang sangat lemah dari otak ditransmisikan melalui alat nirkabel yang dipasang pada kepala pasien. Lemahnya sinyal ini membuat sinyal harus diamplifikasi hingga enam ribu kali agar dapat diolah oleh komputer menjadi Digitized EEG Signal.

Setelah melewati proses amplifikasi dan pengolahan oleh komputer, sinyal difiltrasi melalui proses Feature Classification untuk mendapatkan frekuensi yang sesuai. Pada kasus ini, µ-rhythm dengan rentang 8-13 µHz adalah sinyal yang dicari. Proses berikutnya adalah Feature Extraction, yakni menentukan jenis perintah yang diberikan, baik itu perintah untuk maju, belok, berhenti dan lain sebagainya. Algoritma tersebut menjadi perintah bagi kursi roda untuk bergerak.

Kursi roda tersebut juga dilengkapi alat untuk menginderai keadaan lingkungan melalui kamera di belakang kursi roda sehingga dapat merespon lingkungan. Dilengkapi dengan sistem navigasi yang berbasis gelombang ultrasonik, untuk bergerak maju kursi roda mengikuti dinding disebelahnya (wall following) serta dapat menghindari hambatan di depan (obstacle avoidance). Kemampuan tersebut sangat membantu sehingga pasien tidak harus memerintahkan kursi roda jika ada gangguan karena secara otomatis kursi roda akan mencari alternatif jalan lain.

Penelitian untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Bangsa

Keberjalanan penelitian ini tak selamanya mulus dan acapkali kendala finansial muncul. Namun, Supri dan rekan-rekan terus berusaha agar penelitian tetap berlangsung demi nasib mahasiswa sarjana yang harus mensyelesaikan tugas akhir untuk kelulusan. "Dana harus ada untuk membiayai tugas akhir dan jika ada keinginan pasti ada jalan. Memang capek, tapi justru menariknya disitu," tutur Supri optimis.
 
Kedepannya, Ketua Program Studi S2 Instrumentasi dan Kontrol dan S3 Teknik Fisika ini berharap agar semua disiplin ilmu di ITB mampu berkolaborasi dalam riset yang bermanfaat untuk Indonesia dan sesuai tren internasional. Meskipun Indonesia masih negara berkembang, anak bangsa harus percaya diri dan gencar dalam penelitian. Melalui penelitian ini, Supri juga berharap masyarakat memiliki akses untuk mempelajari dan memanfaatkan hasil riset anak bangsa. "Kita harus yakin. Bangun mimpi dan wujudkan untuk bangsa," tutup Supri dengan semangat.

Natasha Agustin Ikhsan
ITB Journalist Apprentice 2015
Ilustrasi: lppm.itb.ac.id dan dokumen penulis

scan for download