Mahasiswa Teknik Kimia ITB Raih Juara 1 pada Kompetisi Esai Ekonomi Internasional

Oleh Bangkit Dana Setiawan

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Memiliki pengetahuan luas merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa. Bagi mahasiswa ITB sendiri yang mayoritas terdiri dari bidang engineering dituntut pula untuk dapat menguasai hal-hal diluar keprofesiannya.  Dedi Hermawan (Teknik Kimia 2011) merupakan salah satu bukti dari mahasiswa ITB yang mampu berkarya melalui bidang non-engineering. Melalui esai ekonomi yang dibuatnya, Dedi berhasil menjuarai kompetisi Intenational Challenge On Economic Ideas (ICEI) 2014 yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dedi mengungkapkan alasan mengikuti kompetisi yang hampir semua pesertanya memiliki background ekonomi ataupun serupa adalah ICEI 2014 ini mengangkat tema yang menarik, yakni "Enhancing Competitiveness of Emerging Economies through Highly-Efficient Institution". "Tema ini memang sedang menjadi topik perbincangan hangat di kalangan ekonom," jelas Dedi. Negara emerging economies merupakan negara yang sedang mengalami kemajuan ekonomi yang sangat pesat, contohnya adalah Indonesia, Turki, Rusia, China dan masih banyak lagi. Terdapat kekhawatiran para pakar ekonomi terhadap kemungkinan pertumbuhan emerging economies yang tidak berkesinambungan dan mengalami efek diminishing return terlalu dini. "Inilah tantangan yang diberikan pada kompetisi ini, dimana kita harus mencari cara bagaimana untuk menstabilkan pertumbuhan ekonomi pada negara emerging economies," jelas Dedi.

"Harnessing Competitive Public Institutions to Lure Foreign Direct Invesrment: A Key to Sustain Robust Growth in Emerging Economies" merupakan judul esai yang mengantarkan Dedi meraih juara 1 dan memperoleh hadiah senilai 1000 USD. Proses seleksi yang sangat ketat dan dilakukan oleh beberapa profesor dan guru besar di bidang ekonomi serta linguistik membuktikan bahwa walaupun bukan berasal dari background ekonomi, mahasiswa teknik kimia ini mampu mengalahkan kurang lebih 40 peserta lainnya.

Sekilas Mengenai Esai

Terdapat dua poin utama yang dituangkan ke dalam esai, yakni memanfaatkan institusi publik yang kompetitif untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI). Menurut data yang dilansir dari World Economic Forum, rata-rata negara economic forum ini memiliki Global Competitiveness Index (GCI) yang rendah. Terdapat 12 pilar yang mempengaruhi nilai GCI suatu negara dan yang memilki pengaruh terbesar adalah institusi pemerintah. Hal ini sesuai dengan data yang juga diperoleh dari World Economic Forum bahwa ranking institusi publik negara emerging economies berada diurutan bawah.

Rendahnya rangking institusi publik di negara emerging economies ini disebabkan oleh rumitnya jalur birokrasi. Sebagai contoh, menurut data yang diambil dari World Bank, Indonesia menduduki peringkat 120 dalam kemudahan menjalankan suatu bisnis. Terdapat kurang lebih 10 jenis prosedur yang harus dilalui  dengan waktu sekitar 48 hari sebelum mendapatkan izin bisnis. "Hal yang sangat kontras terjadi pada negara maju, seperti Singapura yang hanya membutuhkan waktu hanya beberapa hari untuk mendapatkan izin usaha," tutur Dedi.

Selain jalur birokrasi yang begitu sulit, institusi publik pada negara emerging economies terkenal akan tingkat korupsi yang sangat tinggi. Kedua hal inilah yang membuat reputasi institusi publik semakin menurun yang berimbas kepada enggannya investor untuk menginvestasikan dananya pada sektor-sektor bisnis di Indonesia. "Oleh karena itu, sangat penting untuk mencegah buruknya kualitas institusi publik dengan cara memperbaiki sistem birokrasi dan menerapkan kurikulum antikorupsi di institusi pendidikan," jelas Dedi.

Poin yang kedua adalah mengenai FDI. Dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, jenis investasi lebih difokuskan kepada direct investment. Direct investment merupakan jenis investasi yang dimanfaatkan kepada sektor-sektor produktif, seperti industri. "Sehingga diharapkan direct investment ini akan menimbulkan dampak yang lebih besar dan sustain melalui timbulnya multiplier effect dimana akan merangsang pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor sekunder dan tersier," jelas Dedi. Berbeda dengan indirect investment yang cenderung hanya menguntungkan golongan-golongan tertentu, dalam hal ini adalah pemegang saham.

"Sekarang ini Indonesia memiliki jumlah APBN yang terbatas untuk membiayai pembangunan, contohnya dalam MP3EI yang membutuhkan dana besar. Inilah yang menyebabkan negara emerging seperti Indonesia memerlukan sumber pembiayaan lain salah satunya melalui foreign direct investment," tutur Dedi. Negara emerging economies merupakan surga bagi negara investor. Indonesia sendiri memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 6% sejak 10 tahun terakhir sehingga akan mempercepat nilai Return On Investment (ROI).Hal ini berbeda dengan negara maju yang hanya memiliki pertumbuhan ekonomi pada kisaran 1-2%.

Dalam esainya, Dedi menawarkan solusi yakni berupa pendirian suatu badan yang bertugas untuk mengurus investasi di Indonesia, Single Investment Board. "Sebenarnya badan seperti ini sudah ada di Indonesia, BKPM namanya, namun sayang kinerjanya belum efisien," tambah Dedi. Single Investment Board ini terdiri dari perwakilan provinsi, kementrian, public chambers and agencies, serta pemerintah lokal. Dengan adanya koordinasi antar badan-badan ini diharapkan konsep pengurusan izin 'satu atap' dapat diwujudkan investor akan lebih mudah dalam melakukan proses penanaman modal di negara emerging economies dan berimbas pada stabilnya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

"Mahasiswa teknik jangan hanya membatasi diri pada keprofesiannya saja karena kita merupakan pelopor pembangunan bangsa. Sehingga kita juga harus mengerti sektor-sektor lainnya, seperti ekonomi, politik, sejarah, antropologi, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa tidak akan canggung dan mampu berkarya dengan sebaik-baiknya apabila kelak terjun di masyarakat," harap Dedi mentup wawancara.


scan for download