Tutuka Ariadji: Ancaman dan Solusi BBM Bersubsidi Indonesia

Oleh Teguh Yassi Akasyah

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Saat ini, kebutuhan akan sumber energi terutama Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak lagi seimbang dengan kuota yang tersedia. Adapun produksi minyak Indonesia yang dapat diolah di kilang dalam negeri hanya sekitar 600-800 ribu barel per hari (bph). Sementara kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,5 juta bph,  Ini berarti terjadi defisit 600-700 ribu bph. Terlebih lagi semenjak dicabutnya status Indonesia sebagai negara pengekspor minyak atau lebih dikenal sebagai OPEC pada tahun 2008, Indonesia telah mengubah status menjadi oil importing country.

Permasalan ini tentu akan berdampak kepada BBM bersubsidi yang telah menjadi permasalahan utama Indonesia. Subsidi BBM memiliki porsi sebesar Rp 350 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 atau setara dengan 18%. Hal ini akan menghambat keinginan Indonesia untuk berkembang. Mengamati hal tersebut, Ir. Tutuka Ariadji, M.Sc., Ph.D (Dosen Teknik Perminyakan ITB) berpendapat bahwa kondisi ini akan terus berdampak besar untuk Indonesia, terutama dari segi kemajuan negara.

Produksi Minyak dan Gas di Indonesia

Era 70-an, Indonesia tercatat sebagai pengekspor minyak dengan hasil produksi adalah 1,6 juta barel per hari, kondisi tersebut sempat membuat Indonesia menjadi negara terkemuka di bidang tersebut. Namun, secara berlahan, predikat tersebut mulai tercabutkan dari Indonesia, mengingat bahwa pencapaian per harinya hanya 600-800 ribu barel. Tetapi, jatah untuk kontraktor adalah 15%, sehingga Indonesia hanya mendapatkan sekitar 700 ribu barel jika dipatok 800 ribu bph. Sempat digadangkan bahwa pada tahun 2025, produksi minyak di Indonesia akan sangat berkurang, yaitu sekitar 400 ribu bph. Hal tersebut dapat terjadi apabila tidak dilakukan proses eksplorasi lebih gencar lagi.

Berbeda dengan minyak, produksi gas alam diprediksi akan terus berkembang dan bertahan hingga 2040. Menurut Tutuka, gas alam ini akan menjadi pendokrak sumber pendapatan negara. Titik penyebaran cadangan gas di Indonesia relatif banyak, ditambah lagi dengan penemuan lokasi baru di daerah Indonesia bagian timur. Namun, penggunaan gas dikalangan masyarakat masih cenderung kecil dibandingkan minyak bumi.

Permasalahan BBM Bersubsidi di Indonesia

Diberlakukannya BBM bersubsidi di Indonesia telah berlangsung semenjak zaman pemerintahan Soeharto. Hingga saat ini, pemerintah masih menganggarkan biaya khusus untuk subsidi tersebut. Ditambah lagi dengan menurunnya produksi BBM di Indonesia dan mengharuskan negara ini untuk melakukan impor minyak bumi mentah mau pun olahan dari negara penghasil minyak bumi, seperti Singapura, Arab Saudi, Qatar, dan negara lainnya. Indonesia per harinya harus mengimpor sekitar 700-900 ribu barel untuk memenuhi kebutuhan negara. Tentu saja harga yang dibayarkan adalah harga minyak secara internasional.

BBM yang diproduksi di dalam negeri tentu akan lebih murah dibandingkan dengan harga minyak impor. Selisih harga hampir mencapai Rp 6000 untuk setiap harga minyak impor yang saat ini tercatat senilai Rp 11500. Jika harga tersebut diperjualkan ke masyarakat, maka tentu akan menimbulkan permasalahan baru, mengingat bahwa masyarakat kita suah terbiasa dengan adanya nilai bantuan dari pemerintah. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya penganggaran dana khusus subsidi energi di Indonesia.

Ancaman dan Solusi BBM Bersubsidi Indonesia

Menurut Tutuka, pemerintah Indonesia seharusnya berani mengambil tindakan lebih terkhusus eksplorasi energi fosil, khususnya minyak bumi. Tutuka memprediksi bahwa jika kondisi tersebut dibiarkan berlangsung terus menerus, maka subsidi yang harus dibayar oleh pemerintah Indonesia adalah senilai Rp 430 triliun pada tahun 2030. Hal ini merupakan ancaman yang paling menakutkan, karena dapat menghambat terjadinya pembangunan secara menyeluruh di berbagai wilayah Indonesia. Kondisi turut didukung apabila belum didukungnya penerapan energi alternatif oleh pemerintah dan masyarakat, akibat ketergantungan dengan energi fosil.

"Pemerintah Indonesia harus berani untuk berinvestasi dan menginjeksi eksplorasi minyak bumi demi tercapainya target produksi BBM, tanpa hal tersebut Indonesia akan terus mensubsidi untuk kepentingan rakyat," tutur Tutuka ketika ditemu di ruangan kerjanya. Tutuka turut menambahkan bahwa produksi yang hingga saat ini dilakukan adalah sekitar 35-40 % dari besar cadangan minyak bumi yang tersedia. Namun, tentu saja harus dilakukan eksplorasi secara gencar untuk memproduksi sisa kandungan tersebut. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah Enhanced Oil Recovery (EOR), yaitu  teknik peningkatan produksi minyak dengan menginjeksikan fluida ke dalam reservoir untuk mendesak minyak yang masih tersisa ke sumursumur produksi. Proyek EOR ini terntu akan memakan biaya yang banyak, dan pemerintah harus menginjeksi untuk perwujudannya.

Selain melakukan eksplorasi, Tutuka turut menambahkan bahwa Indonesia harus mampu mengubah pola pikir dan memperhatikan masyarakat, khususnya daerah perdesaan. Sebelum biaya subsidi diturunkan, pemerintah harus memberikan fasilitas dan perbaikan infrastruktur untuk masyarakat, seperti peebaikan transportasi umum dan transportasi khusus desa, menginjeksi wirausaha rakyat kecil, dan berfokus kepada pendidikan rakyat kecil. Sehingga pemakaian BBM akan mulai berkurang. Maka, dana subsidi tersebut dapat diturunkan dan disalurkan untuk pembangunan di beragai wilayah. Selain mewujudkan pembangunan, rakyat pun akan merasa terfasilitasi.

Tutuka juga menambahkan bahwa ITB turut memiliki perannya di dalam bidang tersebut. ITB harus siap untuk membantu pemerintah dalam pengeksplorasian, pemetaan, dan tentu dari segi teknologinya, Selain itu, ITB juga harus siap mewujudkan energi alternatif pengganti yang hampir setara energi fosil, dan turut mendukung adanya penelitian untuk nuklir, dan material lainnya.

 

Sumber gambar: ftttm.itb.ac.id, sragenpos.com, dan indoalpha.com.


scan for download